K.H Bisri Mustofa adalah sosok tokoh Indonesia yang multi-talenta. Beliau merupakan seorang kyai, budayawan, mubaligh, politisi, orator dan penulis yang produktif. Selain itu, beliau juga dikenal sebagai orang yang sangat cerdas dan menjadi referensi bagi santri dan tokoh negara hingga saat ini. Bahkan Kiai Sahal Mahfudh menyebut beliau sebagai sosok yang memukau pada zamannya.

Bisri Mustofa lahir di Rembang pada tahun 1914. Ia adalah putra pertama dari empat bersaudara pasangan KH. Zaenal Mustofa dengan isteri keduanya yang bernama Hj. Khatijah. Pada awalnya ia diberi nama Mashadi, namun kemudian diganti dengan nama Bisri karena alasan tertentu. Kedua orang tua Bisri Mustofa dikenal sebagai orang yang taat dalam beragama (Martin van Bruinessen: 85).

Bisri  kecil hidup di dunia pesantren, karena ayahnya adalah seorang kiai. Pada umur tujuh tahun, ia belajar di sekolah “Angka Loro” di Rembang, namun ia hanya sempat bersekolah di sana selama kurang lebih 1 tahun, karena diajak kedua orang tuanya menunaikan ibadah haji ke Mekah. Dalam perjalanan tersebut ayahnya tercinta wafat setelah sebelumnya menderita sakit di sepanjang pelaksanaan ibadah haji.

Pasca menunaikan haji, Bisri Mustofa pulang ke Indonesia beserta ibu dan saudaranya. Kemudian ia bersekolah di Holland Indische School (HIS) di Rembang. Namun tidak berselang lama kemudian ia dipaksa keluar oleh Kyai Cholil dengan alasan sekolah tersebut milik Pemerintahan Belanda. Akhirnya ia kembali lagi ke sekolah “Angka Loro” dan belajar di sana selama 4 tahun hingga mendapatkan sertifikat sekolah dasar.

Pada usia 10 tahun, Ia melanjutkan pendidikannya ke pesantren Kajen, Rembang. Selanjutnya ia juga menimba ilmu di pesantren Kasingan (tetangga persawahan) yang dipimpin oleh Kyai Cholil. Berkat latar belakangnya tersebut, Bisri Mustofa tumbuh menjadi pemuda yang taat beragama dan mencintai ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu keislaman yang diajarkan di dunia pesantren.

Di usia ke 20 tahun, Bisri Mustofa menikah dengan Ma’rufah, anak dari Kyai Cholil. Setahun setelah menikah, ia berangkat lagi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji bersama dengan beberapa anggota keluarganya di Rembang. Setelah melaksanakan haji, ia tidak langsung pulang ke tanah air, melainkan memilih bermukim di sana untuk menuntut ilmu memperdalam ilmu agama.

Di Mekah Kyai Bisri berguru dengan beberapa guru, yakni (1) Syekh Baqir Yogyakarta tentang kitab Lubb al-Ushul, Umdât al-Abrâr, Tafsîr al-Kashshâf; (2) Syekh ‘Umar Hamdan al-Maghribî tentang Sahihain; (3) Syeikh ‘Alî Malîkî tentang kitab al-Ashbah wa al-Nadâ’ir dan al-Aqwâl al-Sunan al-Sittah; (4) Sayyid Amin tentang Ibn Aqîl; (5) Syekh Hassan Massat kitab Minhaj Dzaw al-Nadar; dan (6) KH. Abdullah Muhaimin tentang kitab Jam‘ al-Jawâmi.


Baca Juga: Mufasir Nusantara: Oemar Bakry asal Danau Singkarak


Setelah dua tahun menuntut ilmu, Bisri Mustofa kemudian pulang ke Kasingan, tepatnya pada tahun 1938 M atas permintaan Kyai Cholil yang mendesaknya untuk segera pulang ke tanah air. Berselang satu tahun kemudian, mertuanya tersebut meninggal dunia. Sejak saat itulah Bisri Mustofa menggantikan posisi mertuanya sebagai guru dan pemimpin pesantren Kasingan.

Selain sibuk mengajar, Bisri Mustofa juga aktif mengisi ceramah-ceramah keagamaan atau pengajian. Penampilan beliau di atas mimbar sangat mempesona dan berwibawa sehingga ia sering diundang untuk mengisi ceramah dalam berbagai kesempatan di luar daerah Rembang, seperti Kudus, Demak, Lasem, Kendal, Pati, Pekalongan, Blora dan daerah-daerah lain di Jawa tengah.

Bisri Mustofa wafat pada usia 63 tahun, yakni pada 16 Februari 1977 M. Selama hidupnya, beliau melalui 3 zaman pemerintahan, yakni zaman penjajahan, zaman pemerintahan Soekarno dan masa Orde Baru. Pada setiap zaman pemerintahan ia selalu aktif berpolitik, termasuk bergerak melawan pasukan Kolonial bersama para Kiai dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.

Ayah dari Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus) ini meninggalkan warisan karya tulis berjumlah kurang lebih dari 54 judul kitab yang terdiri dari berbagai macam cabang keilmuan, seperti ilmu tauhid, fikih, sejarah kebudayaan Islam, ilmu-ilmu kebahasaan Arab (nahwu, sharaf dan ilmu alat lainnya), hadis, akidah akhlak, dan lain sebagainya. Sebagian karya-karyanya ini ditulis dengan tujuan memberi pemahaman agama terhadap masyarakat awam.

Salah satu karya Bisri Mustofa paling monumental adalah Tafsir al-Ibriz yang ditulis dalam Jawa Pegon. Tafsir ini diselesaikan dalam kurun waktu kurang lebih selama 4 tahun, yakni dari tahun 1956 hingga 28 Januari 1960, namun tidak menutup kemungkinan beliau sudah menulis jauh sebelum waktu tersebut. Kemudian tafsir ini diterbitkan oleh Menara Kudus pada tahun 1964 sebanyak 30 jilid.


Baca Juga: K.H Ahmad Sanusi: Sang Mufasir Asal Bumi Pasundan


Sistematika yang digunakan dalam Tafsir al-Ibriz adalah tartib mushafi yang digunakan umumnya oleh para mufasir. Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, pertama-tama KH. Bisri Mustofa menulis redaksi ayat secara sempurna, kemudian diterjemahkan kata-per-kata ke dalam bahasa Jawa dengan tulisan huruf Arab Pegon atau huruf Arab bahasa Jawa secara miring bersusun ke bawah lengkap dengan rujukan (dhomir) nya, bentuk seperti ini lebih dikenal dengan tulisan bermakna gandul.

Sedangkan Metode penafsiran yang digunakan dalam Tafsir al-Ibriz adalah metode tahlili (analitis) yang memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosa kata diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat yang disertai dengan membahas munasabah (korelasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut antara satu sama lain. Selain itu, tafsir ini juga memiliki corak tafsir kombinasi antara fiqih dan sufisme. Wallahu a’lam

Sumber: https://tafsiralquran.id/kiai-bisri-mustofa-sang-penggubah-tafsir-arab-pegon-al-ibriz/

0 Komentar