Mengenang Mbah Wahab Hasbullah
Mengenang Mbah Wahab Hasbullah
Para kiai NU dikenal memiliki banyak keistimewaan, apalagi para kiai yang pernah memimpin NU. Bahkan penulis meyakini, bahwa para kiai yang menjadi pemimpin tinggi NU, Baik di jajaran Mutasyar, Syuriyah, maupun di jajaran Tanfidziyah ada di antara mereka adalah waliyullah, kekasih Allah. Salah satu diantaranya adalah KH A Wahab Chasbullah yang menjadi Rais Aam PBNU pada 1947-1971. Selama 24 tahun, atau Rais Aam terlama sepanjang sejarah NU sampai saat ini. Kalau dalam kepengurusan NU yg sekarang mungkin kewalian di pegang oleh Mbah Maemun Zubair.
Terkait kewaliyan Kiai Wahab, ada kesaksian yang disampaikan KH Hamid Pasuruan, yang juga dikenal sebagai waliyullah pada jamannya.
Musthafa Helmy dalam buku “Mengenang KH. M. Aly Ubaid”, mengisahkan bahwa suatu hari Kiai Wahab meminang Kiai Aly Ubaid, putra KH Abdullah Ubaid (Pendiri Ansor NU), untuk menjadi menantunya. Kiai Aly Ubaid saat itu masih di Mekah, ngaji di Ummul Quro. Kiai Aly Ubaid gamang, bingung, antara menerima atau menolak.
Ditemani kakaknya, Zaky Ubaid, Kiai Aly Ubaid akhirnya mengadukan persoalannya kepada KH Hamid Pasuruan, yang juga masih sepupunya, tapi memang sudah dikenal masyhur kewaliyannya.
Sungguh di luar dugaan, Kiai Hamid menjawab, “kalau Kiai Wahab yang menginginkan, saya tidak berani. Kiai Wahab itu adalah wali terbesar di Indonesia. Seandainya seluruh wali di tanah Jawa memohon hujan dan Kiai Wahab tak setuju, maka tak jadi hujan,” ujar Kiai Hamid.
Padahal Kiai Aly Ubaid sendiri sebenarnya akan dijodohkan dengan adik ipar Kiai Hamid. Tapi tidak jadi, setelah Kiai Hamid mengetahui niatan Kiai Wahab untuk mengambil Kiai Aly Ubaid sebagai menantunya. Alhasil, Kiai Aly Ubaid pun menikah dengan Mahfudhah, putri Kiai Wahab.
Itulah Kiai Wahab, sosok wali yang menjadi Rais Aam PBNU dan pernah menjadi penasehat Bung Karno dalam urusan agama, bangsa, dan negara.
MENUNDA KEMATIAN
Sudah menjadi kebiasaan sejak dulu kalau Mbah Wahab ada hajat untuk negara Santri-santrinya kerap kali di suruh membaca burdah dimasjid pondok secara Bersama – sama. Begitu pula sewaktu beliau sakit, beliau berpesan kepada keluarganya kalau beliau nantinya sudah tidak sadar dan kritis, supaya menyuruh para santri membaca Yasin untuknya secara bersama-sama dimasjid.
Ketika itu, sebelum Muktamar NU ke-25 di Surabaya pada tahun 1971, Mbah Wahab akhirnya tidak sadar dan mengalami kritis, sesuai amanat beliau, para santri digerakkan untuk membacakan Yasin di masjid, tidak lama kemudian Mbah Wahab yang waktu itu berusia 83 dikabarkan meninggal dunia. Kabar meninggalnya Mbah Wahab ini membuat kaget semua putra putri dan keluarga. Bahkan, para santri pun begitu sedih mendengar berita duka tsb. Kemudian, baik Keluarga maupun Para Santri menyiapkan segala sesuatu untuk memberikan penghormatan terakhir kepada Mbah Wahab.
Para santri menyiapkan terop dan kursi untuk para petakziah, pun demikan dengan sejumlah peralatan yg lain di rumah duka tersebut. Di antara para petakziah itu adalah KH Bisri Syansuri,( Denanyar ) Beliau memohon kepada Allah supaya Mbah Wahab dipulihkan dan kembali sehat.
“Kiai, jangan engkau wafat dulu,” kurang lebih begitu ungkapan Kiai Bisri kepada Kiai Wahab.
“Kiai masih punya hutang,” lanjut Kiai Bisri.
Tiba-tiba Mbah Wahab terbangun. Sontak kejadian ini malah membuat kaget para santri, keluarga dan beberapa petakziah.
"Sik-sik gak sido, aku jalok ditunda nang gusti Alloh,ngenteni sak marine Muktamar NU (sebentar-sebentak nggak jadi, saya minta ditunda ke Allah SWT, nunggu setelah muktamar)," kata Mbah Wahab saat bangun dari pembaringan itu. Lalu Mbah Wahab menoleh kepada KH Bisri
“hutang apa?,” Tanya Mbah Wahab kepada KH Bisri
“Sampeyan masih belum LPJ,” jawab Kiai Bisri.
Peristiwa ini membuat para santri, keluarga dan Para petakziah heran bercampur gembira karena Mbah Wahab tidak jadi meninggal dunia.
Dan ternyata benar, Beberapa bulan kemudian Muktamar NU ke-25 di Surabaya digelar. Saat itu, KH.Wahab chasbulloh terpilih kembali dan dipecaya menjadi Rois Aam. Saat itu, Mbah Wahab memberikan sambutan kepada peserta Muktamar. Namun, ketika Prosesi Muktamar belum selesai, Mbah Wahab minta pulang karena kondisi kesehatan yang menurun. Berselang beberapa hari setelah muktamar NU ke 25 di Surabaya
kondisi kesehatannya semakin menurun. Mungkin inilah yang dinamakan seseorang memiliki Karomah. Saat itu, sepertinya Mbah Wahab benar-benar tahu jika akan meninggal dunia, hingga akhirnya dipanggillah putra putrinya untuk pamit. "Wes saiki wayahe aku dipundut (sudah sekarang waktunya saya dipanggil oleh Allah)," katanya kala itu seperti ditirukan putrinya Munjidah Wahab.
Kemudian, Mbah Wahab mengucap kalimat La Ilaha Illalloh dan menghembuskan nafas terakhir. Peristiwa ini disaksikan oleh Istri dan dua putrinya. Salah satunya adalah Nyai Hj.Munjidah Wahab.
Cerita yang intinya sama juga disampaikan oleh salah satu santri Mbah Wahab yakni KH Jamaludin Ahmad. Hikmah dari kisah ini adalah menunjukkan saking cintanya Mbah Wahab terhadap NU. Bahkan di akhir hayat yang difikirkan adalah NU.
Semoga kita semua bisa meneruskan perjuangan beliau Amiin....
Dumateng Mbah Wahab, Para Istri, Anak Turun, kerabat, Murid dan semua yg mencintai beliau…alfatihah
0 Komentar