Hajj Journey
Hajj Journey- 01
Imam Shamsi Ali*
Saat ini umat Islam di seluruh dunia bersiap-siap menyambut datangnya bulan haji. Bahkan saat ini pun musim haji yang penuh hiruk pikuk itu telah mulai terasa. Penerbangan jamaah haji dari berbagai negara dunia sudah dilakukan sejak beberapa waktu terakhir.
Kami sendiri tahun ini bersama travel Nusantara USA akan berangkat bersama jamaah pada tanggal 1 Agustus mendatang. Rencananya akan berada di tanah suci, Mekah dan Madinah, selama 15 hari.
Panggilan universal
Ada satu hal yang menarik dari panggilan menunaikan ibadah haji dalam Al-Quran. Allah SWT tidak lagi menggunakan kata spesifik “orang-orang beriman”, yang biasanya dipahami secara konsensus sebagai panggilan kepada umat Islam.
Ketika Allah memanggil orang-orang beriman untuk menunaikan ibadah haji, justeru penggilan itu bersifat kemanusiaan. Panggilan yang bersifat universal, seolah tanpa batas.
Di antara ayat-ayat itu, dua di antaranya adalah sebagai berikut:
“Dan kumandangkan kepada ‘manusia’ untuk menunaikan ibadah haji. Niscaya mereka akan datang kepadamu berjalan kaki atau dengan onta-onta jinak. Mereka datang dari tempat-tempat yang jauh”. (S. Al-Haj: 28).
“Dan bagi Allah atas ‘manusia’ untuk menunaikan ibadah haji ke Baitullah bagi siapa yang mampu melakukannya” (S. Ali Imran: 97).
Penyebutan “an-naas” dalam ayat-ayat haji di atas merupakan indikasi jelas akan panggilan universal ini. Sekaligus deklarasi umum bahwa Islam adalah “hudan lin-naas” atau petunjuk universal bagi seluruh manusia.
Panggilan universal kemanusiaan ini juga sekaligus menggaris bawahi persaudaraan universalitas dalam Islam. Bahwa dalam Islam semua manusia itu bersaudara secara asal. Semua berasal dari Adam dan Hawa. Dan Adam berasal dari tanah.
Panggilan universalitas ini juga sekaligus mengingatkan saya tentang rasisme dan tendensi meningginya “White Supremacy” di dunia Barat. Seolah manusia terkotak dan nilainya ada pada ras dan warna kulitnya.
Panggilan kemanusiaan universal juga mengingatkan universalitas “kesetaraan manusia” (human equality” yang pernah dideklarasikan Rasul Allah, Muhammad SAW, di Padang Arafah. Bahkan jauh sebelum Komisi HAM melakukan hal sama hanya diabad lalu.
Secara khusus, amalan-amalan haji pada galibnya berhubungan dengan Nabi Allah Ibrahim AS. Juga sebuah indikasi bahwa Islam itu adalah dasar dari agama-agama monoteisme. Ibrahimlah pertama kali yang sesungguhnya mengumumkan jika umat monoteis itu bernama “Muslim”.
“Dialah (Ibrahim) yang pertama kali menamaimu Muslim” (Al-Quran).
Dengan haji umat Islam akan terus menyadari dan memperjuangkan kesetaraan kemanusiaan itu. Dengan haji umat juga tersadarkan bahwa semua orang dalam agama ini memiliki hak dan kewajiban yang sama. Sekaligus memilii peluang yang sama untuk menjadi “the best” (terbaik).
Jika di Amerika ada slogan “equal opportunity” atau peluang yang sama dalam dunia, maka di agama ini peluang sama itu juga ada dalam segala hal. Termasuk peluang menjadi yang terbaik dan termulia.
“sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa” (Al-Hujurat: 13).
Pesan-pesan haji akan kembali mengingatkan dan membangun kesadaran itu. Bahwa Islammu tidak ditentukan oleh kebangsaan dan rasmu. Tapi oleh iman, karakter dan karyamu. Kesemunya menyatu dalam satu kata: TAQWA.
Sebuah terminologi yang tidak didefenisikan oleh apapun, kecuali hati (iman), karya (amal) dan karakter kepribadian (akhlak) manusia.
Dan haji yang diterima dengan sebutan “mabrur” itu ditandai oleh hadirnya perubahan hidup manusia dalam iman, amal, akhlaknya. Semoga jamaah haji kita dikaruniai kemabruran dalam berhaji. Amin!
Hajj Journey- 02
Imam Shamsi Ali*
Belakangan dikenal bahwa pertama kali mereka turun atau diturunkan ke bumi ini mereka terpisah. Mereka pun saling mencari didorong oleh rasa “rahmah” (kasih sayang) yang ada pada keduanya. Maka atas kasih sayang Allah mereka dipertemukan di sebuah bukit yang juga dikenal dengan “rahmah” (bukit kasih sayang). Bukit itu lebih dikenal saat ini dengan nama “Jabal Rahmah”.
Sudah pasti tidak ada catatan sejarah mengenai mereka berdua. Tidak ada catatan tinta kasat, kecuali narasi-narasi yang disimpulkan dari informasi langit.
Belakangan diriwayatkan bahwa Adam sendiri meninggal di kota suci Mekah. Dan dikuburkan di sekitar “lokasi suci” sekitar Ka’bah. Ada yang menyebutkan bahwa Adam dikuburkan di sebuah lokasi antara Ka’bah dan Sumur Zam-Zam saat ini.
Sementara Hawa melakukan perjalanan hingga ke pinggiran pantai di sebuah daerah di luar kota suci Mekah. Daerah pinggiran pantai itu sekarang dikenal sebagai sebuah kota metropolitan di Saudi Arabia bernama Jeddah. Di sanalah Nenek manusia itu dikuburkan. Bahkan kuburannya hingga kini menjadi salah satu tujuan para penzuarah Mekah dan Madinah.
Namun demikian, catatan sejarah tentang ritual haji yang paling jelas dalam literasi agama kembali kepada sejarah Ibrahim AS dan keluarganya. Ibrahimlah dan keluarganya, khususnya anak isterinya Hajar dan Ismail AS, yang kemudian menjadi tema sentra dalam pembicaraan tentang haji dan tanah suci.
Ibrahim akan menjadi sebutan berulang dalam membahas tentang haji dan Tanah Haram. Dari Ihram, ke Wukuf, Muzdalifah, Mina, hingga ke Thawaf dan Sa’i. Semuanya tidak terlepas dari sejarah napak tilas Ibrahim AS dan anaknya Ismail AS.
Bahkan ada juga sebutan riwayat jika Musa AS juga pernah melakukan thawaf di sekitar Ka’bah. Entah kapan dan bagaimana? Teknisnya memang Allah yang Maha tahu.
Tapi yang pasti memang Ka’bahlah dalam sejarah agama yang pertama kali dijadikan sebagai pusat “ibadah”. Karenanya sangat wajar jika manusia secara turun tenue un telah menjadikan tempat ini sebagai pusat “peribadatan”.
Al-Quran menyebutkan: “sesungguhnya Rumah (tempat ibadah) yang pertama ditempatkan di bumi adalah yang ada di Bakkah Yang Suci itu” (Al-Quran).
Demikian dalam sejarahnya kita kenal juga bahwa jauh sebelum Rasulullah SAW dilahirkan di Tanah Mekah, kaum Arab dan tetangga-tetangganya telah menjadikan Ka’bah sebagai pusat ritual ibadah mereka. Hanya saja mereka melakukan itu tanpa Syariah (aturan agama) yang benar.
Salah satu yang kita baca dalam sejarah bahwa kaum Arab sebelum Muhammad SAW hadir melakukan thawaf di sekitar Ka’bah dan Da’i di antara Shofa-Marwa dengan telanjang.
Demikian seterusnya tempat yang dikenal dengan Tanah Haram ini menjadi pusat peribadatan sepanjang sejarah. Dan dengan kehadiran Ibrahim dan putranya Ismail mendoakan: “Wahai Tuhan kami, jadikan hati sebagian manusia cinta kepadanya (Mekah)” hal itu semakin mengakar.
Diutusnya Rasul dan Nabi penutup, Muhammad SAW, menjadikan praktek ritual bersejarah itu menjadi “hukum” atau Syariah yang baku. Bahkan dalam agama Islam dijadikan sebagai salah satu pilar (tiang) agama itu sendiri.
Karenanya melaksanakan ibadah haji sesungguhnya adalah sekaligus merupakan “napak tilas” perjalanan sejarah “religiositas” manusia. Pusat ketaatan kepada Tuhan bermuara dari pusat dunia yang memang dikenal sebagai “Ummul Qura” (Ibu negeri).
Bahkan disebutkan jika di sekitar Al-Bait al-Ma’muur di sekitar Arsy Allah malaikat tiada henti melaksanakan thawaf menyembah dan membesarkan Asma Allah. Maka di bumi sekitar Ka’bah Inilah tempat para hamba Allah tiada hentinya menyembah Allah dan membesarkan AsmaNya.
Dengan melaksanakan ibadah haji kita diingatkan kembali perjalanan “keagamaan” dan “ketaatan” kepada Tuhan. Seolah dengan perjalanan haji kita membangun kembali komitmen keagamaan dan ketaatan dalam sejarah interaksi manusia dengan Penciptanya.
Hajj Journey- 03
Imam Shamsi Ali*
Menjadi kesepakatan ummah bahwa haji merupakan kewajiban bagi seluruh orang yang beragama Islam, dan telah memenuhi persyaratan kewajibannya.
Terdahulu telah disebutkan ayat Al-Quran: ”dan bagi Allah atas manusia untuk melakukan haji ke Baitullah bagi siapa yang mampu melakukannya”.
Bahkan lebih jauh Rasul SAW menetapkan Ibadah haji sebagai salah satu dari lima rukun Islam: ”Islam didirikan di atas lima dasar: Syahadah bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah, mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, puasa Ramadan, dan berhaji ke Baitullah bagi siapa yang mampu”.
Oleh karena merupakan kewajiban sekaligus rukun agama, semua umat sepakat untuk menunaikannya. Bahkan melakukan ibadah haji menjadi impian semua umat.
Pada masa lalu menunaikan ibadah haji itu bahkan dilabeli sebagai ”panggilan” khusus. Sebagian yang tidak atau belum menunaikan haji menjadikan hal ini sebagai alasan. ”ah belum ada panggilan”, kata mereka.
Juga menjadi konsensus (ijma’) para ulama jika haji itu kewajibannya hanya sekali dalam hidup. Artinya kewajibannya menjadi selesai ketika melakukannya pertain kali. Kalaupun seseorang melakukan haji berkali-kali setelah itu maka hajinya bukan sebuah kewajiban. Melainkan ibadah sunnah yang mendapat pahala dari sisiNya.
Ketika perintah haji disampaikan kepada para sahabat mereka bertanya: ”apakah setiap tahun ya Rasul? Ditanya seperti itu beliau diam. Ditanya lagi hal yang sama tapi beliau diam. Hingga pada pertanyaan ketiga beliau menjawab: ”kalau saja saya katakan iya, maka telah wajib atasmu setiap tahun”.
Karenanya beliau diam untuk menegaskan bahwa sebuah perintah yang jelas jangan lagi dipertanyakan. Karena akibatnya bisa menjadi lebih rumit dan membebankan.
Oleh karena kewajiban haji hanya sekali, pertanyaan yang kemudian timbul adalah apakah harus segera melakukan kewajiban itu? Atau kapan saja selama masih hidup?
Dengan kata lain, bolehkah kewajiban haji itu ditunda hingga akhir-akhir kehidupan atau hingga di usia tua?
Ternyata jawabannya tegas. Semua ulama sepakat bahwa kewajiban haji harus dilakukan sesegera mungkin jika ”syarat-syarat kewajiban” itu telah terpenuhi.
Yang membolehkan penundaan pelaksanaan kewajiban haji hanya Imam Syafi’i. Itupun dengan sebuah persyaratan. Bahwa orang yang menunda menunaikan ibadah haji, padahal sudah memenuhi syaratnya, harus yakin untuk tidak mati hingga dia melaksanakannya.
Persyaratan ini sesungguhnya adalah persyaratan penegasan saja. Bahwa kalau dia sudah mampu, tapi tetap tidak melaksanakannya dan mati maka dia akan mati dalam keadaan dosa besar. Bahkan matinya dimiripkan sebagai mati dalam keadaan ”nashora atau yahudian”.
Kembali kepada syarat-syarat kewajiban haji di atas, para ulama.menyebutkan lima syarat wajibnya haji atas seseorang.
Pertama, bahwa orang itu memang beragama Islam.
Kedua, orang tersebut balig (pada lelaki ditandai dengan mimpi basah biasanya. Pada.wanita dengan datangnya haid pertama).
Ketiga, yang bersangkutan berakal sehat.
Ketiga syarat di atas menjadi syarat semua ibadah dalam Islam. Non Muslim, anak-anak di bawah umur, dan yang sedang gila tidak diwajibkan melaksanakan ibadah dalam Islam.
Lalu syarat lain dari kewajiban haji adalah bahwa yang bersangkutan adalah orang merdeka. Pada masa lalu aturan ini merupakan ”rahmah” bagi para budak yang menjadi Muslim. Karena mereka masih dalam kepemilikan tuannya. Dan itu tidak memungkinkan mereka untuk melakukannya.
Dan yang terakhir sekali adalah bahwa yang bersangkutan memang memiliki isthitho’ah. Yaitu memiliki kemampuan untuk melaksanakannya. Dalam hadits-hadits ditegaskan dua hal tentang kemampuan ini.
Pertama, adalah menyangkut perjalananan (rahilah) atau bisakah seseorang itu sampai ke sana?
Pada masa lalu ini menyangkut onta, kuda atau kemampuan berjalan hingga sampai ke tanah suci. Saya ini saya yakin alat transportasi. Jika dibawa ke rana faktualnya maka mampukah yang bersangkutan membeli tiket pesawat?
Kedua, menyangkut perbelalan (zaad). Saya yakin semua ini masuk dalam kategori ONH (Ongkos Naik Haji). Ujung-ujungnya juga adalah alakah uang tersedia atau tidak.
Dalam hal istitho’ah ini memang banyak yang menjadi pertanyaan terkait. Misalnya bagaimana jika masih ada utang? Apalagi utang itu adalah utang ansuran bayar membeli rumah bulanan atau mortgage?
Hal itu akan dibahas pada masanya. Tapi intinya adalah kewajjban haji adalah mask dalam kewajiban utama Islam. Dan hendaknya segera dilakukan jika persyaratan wajibnya telah terpenuhi.
Pertanyaan yang terkait barangkali, khususnya yang dari negara mayoritas Muslim seperti Indonesia adalah masalah quota.
Dengan aturan quota dari pemerintah Arab Saudi, bagaimana yang terjadwal berangkat 20 tahun mendatang tapi meninggal sebelum berangkat?
Jawabannya dia sudah terlepas dari kewajiban haji. Karena sejak mendaftar dia sudah berniat melaksanakan kewajjbannya. Tapi karena satu dan lain hal yang bersangkutan belum sempat. Namun niatnya sudah dihitung sebagai haji di sisi Allah SWT.
Semoga Allah mengaruniai haji mabrur bagi mereka yang berhaji. Amin...
Hajj Journey- 04
Imam Shamsi Ali*
Kata haji itu sendiri sesungguhnya sangat unik. Arti lepasnya adalah ”melakukan safar atau perjalanan ke tempat yang jauh”.
Namun jika kita lihat lebih dekat lagi, kata ”hajj” akan kita dapati memiliki beberapa arti.
Kata haji itu sendiri berasal dari kata ”hajja” yang bisa mengarah kepada minimal dua makna: Bisa membawa kepada ”hajja-yahijju-hajjun wa hijjatun”.
Pertama, Hajjun (fatha) adalah bentuk mashdar atau asal kata itu sendiri. Sementara hijjun (kasrah) itu adalah bentuk ism atau kata benda dari haji.
Media, kata ”hajja” juga bisa menghasilkan: ”yahujju-hujjatun” (dengan dhomma).
Hujjatun dalam bahasa Arab kita kenal dengan makna dalil, alasan atau argumen. Tapi juga bisa tanda, bahkan bukti.
Jika bentuk pertama (hajjun dan hijjatun) lebih menggambarkan makna kasat dari haji, maka hujjatun lebih menggambarkan makna hakiki dari haji.
Secara kasat, yang dalam bahasa agama lebih dikenal dengan ”syariah” berarti melakukan perjalanan jauh (ke tanah suci) untuk melakukan ritual Ibadah karena Allah SWT.
Penggambaran makna ini diekspresikan dalam bahasa Al-Quran dengan: ”ya’tuuka rijaalan wa ’alaa kulli dhoomir”. Bahwa orang-orang yang memenuhi panggilan haji itu ”akan datang ke tanah suci dengan berjalan kaki atau dengan mengendarai onta-onta yang jinak. Mereka datang dari berbagai penjuru yang jauh”.
Semua hal yang relevansinya dengan ”hajjun wa hijjatun” ini berada pada ruang lingkup pembahasan fiqh haji. Atau tatacara dan aturan melaksanakan haji, yang lebih mayshur dengan istilah ”manasik haji”.
Sementara kata ”hajja-yahujju-hujjatun” lebih banyak berhubungan dengan makna-makna spiritual atau hakiki dari pelaksanaan ibadah haji. Sesuatu yang ketika berbicara tentang ritual dalam Islam banyak dilupakan (ignored).
Haji disebut hujjatun atau dalil, alasan, bukti karena haji memang adalah penutup dari rangkaian rukun Islam. Sebuah kewajiban sekali dalam hidup manusia. Maka melaksanakannya sekaligus sebuah komitmen pembuktian akan keislaman seseorang.
Tidak mengherankan kemudian jika haji ini pada galibnya berkaitan dengan komitmen keislaman Ibrahim AS. Dengan kata lain, Ibrahim AS menjadi figur sentra dari praktek ritual ibadah haji.
Kenapa Ibrahim AS?
Karena Ibrahim dikenal sebagai ”penghulu monoteisme”. Dalam bahasa agama beliau dikenal sebagai ”abul ambiya”. Bapak dari para nabi.
Juga karena Ibrahim AS merupakan sosok yang telah menjadi ”uswah” dalam perjalanan menuju kepada kesempurnaan Islam. Mulai dari proses mencari tuhan yang sebenarnya hingga pengorbanan tanpa pamrih dalam peribadatan kepada Rabbul alamin.
Maka sangat wajar jika kemudian dalam Islam Ibrahim AS dikenal sebagai orang pertama yang digelari sebagai ”Muslim”.
Tentu penobatan gelar yang maksud bukan pada hakikatnya saja. Karena Islam meyakini semua manusia secara hakikat terlahir Muslim. Dan semua nabi dan rasul adalah pembawa risalah Islam.
Tapi bagi Ibrahim kata Muslim di sini menjadi sebuah panggilan ”resmi” (official). Itulah yang diabadikan dalam Al-Quran: ”huwa samaakumul muslimiina min qabl”. Artinya bahwa sebelum Muhammad SAW atau sebelum Al-Quran, Allah SWT memberikan gelar ”muslim” pertama itu kepada Ibrahim AS.
Bahkan dengan tegas Al-Quran menegaskan: ”Ibrahim bukan Yahudi, tidak juga Nasrani. Tapi seorang Muslim yang hanif”.
Semua realita itulah yang menjadikan ibadah haji berkaitan erat dengan Ibrahim AS. Sebab sekali lagi haji memang menjadi bukti kesempurnaan Islam seperti komitmen Ibrahim itu. Bukan pada syariatnya tapi pada hakikat dan komtimennya.
Dan yang lebih penting lagi, haji berarti hujjah atau bukti karena haji seorang Mukmin akan menjadi bukti keislaman sejati. Meninggal dengan haji mabrur adalah pembuktian bahwa seseorang itu meninggal dalam keadaan Muslim.
Al-Quran mengingatkan: ”wa laa tamutunna illa wa antum Muslimun” (janganlah kalian meninggal kecuali dalam keadaan Muslim”.
Maka haji yang mabrur menjadi jawaban dan pembuktian. Sehingga sangat wajar jika ”haji mabrur balasannya tiada lain selain syurga”. (hadits).
Hajj Journey- 05
Imam Shamsi Ali*
Sesungguhnya perjalanan haji itu merupakan miniatur kecil dari perjalanan hidup manusia. Seluruh elemen perjalanan hidup tergambarkan dalam proses perjalanan haji itu.
Persiapan haji itu mencakup seluruh bekal hidup manusia. Jika hidup manusia mencakup tiga dasar: fisik, akal dan ruh, maka persiapa haji juga mutlak memerlukan tiga bentuk persiapan itu.
Dengan kata lain, oleh karena perjalanan haji adalah simbolisasi perjalanan hidup manusia, maka Persiapannya juga mencakup seluruh elemen dasar kehidupan manusia.
Sedemikian urgensinya perjalanan itu maka Al-Quran secara khusus memerintahkan: “Dan persiapkanlah persediaan (tazawwaduu) karena sebaik-baik persediaan adalah ketakwan”.
Kata takwa adalah kata jaami’ (umum) yang mencakup ketiga Persiapan esensial perjalanan haji. Ketiga hal itu adalah 1) Persiapan fisik/materi. 2) Persiapan akal/ilmu). 3) Persiapan hati/ruhani.
Persiapan fisik/materi menjadi sangat penting dalam perjalanan haji. Selain karena memang perjalanan yang jauh (dari negara-negara lain) yang membutuhkan biaya yang cukup besar, juga karena perjalanan ini membutuhkan tenaga besar.
Kalau saja saat ini, tahun 2019, kita memakai ukuran Amerika maka biaya naik haji atau ONH sekarang ini paling murah sekitar $8,500. Balum lagi biaya-biaya lainnya seperti hajj fee atau ongkos haji yang mulai diterapkan oleh pemerintah Saudi. Juga harga pembelian kambing atau domba bagi mereka yang berhaji tamattu’ atau qiraan.
Persiapan fisik juga tidak boleh dipandang sebelah mata. Karena dari tahun ke tahun, walau fasilitas semakin membaik, jumlah jamaah juga semakin bertambah. Hal ini menjadikan pelaksanaan ibadah haji juga semakin hari semakin berdesakan. Baik di Mina, di Muzdalifah, bahkan ketika Tawaf dan Sa’i.
Maka baik Persiapan finansial maupun fisikal menjadi sebuah tuntutan mendesak untuk melaksanakan Ibadah haji.
Persiapan akal atau keilmuan juga menjadi sebuah keharusan. Semua ibadah dalam Islam dipersyaratkan untuk dilaksanakan atas dasar ilmu. Maka haji sebagai salah satu Ibadah pokok dalam Islam harus dilaksanakan juga dengan keilmuan.
Karenanya ilmu-ilmu dasar tentang pelaksanaan haji menjadi keharusan. Apa saja yang menjadi fardhu, wajib, dan sunnah-sunnah haji. Atau sebaliknya apa yang menjadi larangan, dan jika terjadi pelanggaran apa jalan keluarnya.
Tata cara melaksanakan ibadah haji atau lebih dikenal dengan Manasik Haji mendasar untuk dipahami sebagai bagian dari Persiapan haji itu. Rasulullah SAW menegaskan: “khudzu anni manasikakum” (ambil dariku cara kamu melakukan ibadah haji).
Karenanya mempelajari tatacara melaksanakan ibadah haji menjadi keharusan bagi calon jamaah. Kalaupun karena satu dan lain hal, ada jamaah yang sangat terbatas dalam memahami tatacaranya, maka pembimbing hajilah yang kemudian mengambil alih tanggung jawab itu.
Di sini saya ingatkan pemerintah Indonesia, khususnya Kementrian Agama, agar memilih pembimbing haji bukan asal-asalan. Jangan jadikan tugas pembimbing haji itu sebagai “sarana” melaksanakan haji. Sehingga oleh sebgaian sekedar dijadikan sebagai kesempatan. Tapi pembimbing haji harus yang memang paham tatacara dan semua yang terkait dengan Ibadah haji.
Sementara Persiapan hati atau spiritual adalah Persiapan yang menentukan. Berapa banyak yang berangkat haji hanya karena punya duit atau punya kesempatan untuk melakukannya. Tapi sesungguhnya batinnya, hatinya tidak sepenuh siap untuk melakukannya.
Jamaah yang seperti inilah yang seringkali ketika berada di tanah haram, matanya dan pikirannya justeru semakin mendunia. Di hari pertama pun pikirannya adalah belanja. Bahkan orang-orang seperti inilah yang paling sering mengeluh tentang fasilitas Yang dianggap tidak memadai.
Atau orang-orang seperti inilah yang paling rentang untuk marah-marah, mengutuk bahkan ketika sedang berapa di masjidil haram. Perhatikan mereka yang saling sikut dan menyakiti ketika Tawaf atau ketika ingin mencium Hajar Aswad. Ibadahnya menjadi sebuah wahana memenuhi hawa nafsu.
Karenanya persiapan yang paling mendasar dalam perjalanan ini adalah persiapan batin atau hati. Hal itu karena memang perjalanan ini adalah “safar ibadah” (perjalanan ibadah). Sejak memulai niat hingga Tawaf wada’ semua adalah ibadah yang dasarnya ada di hati.
Tentu yang terpenting dari semua itu adalah karena ibadah dalam Islam mutlak dibangun di atas fondasi niat yang benar. “Semua amalan itu didasarkan kepada niatnya”.
Karena niat tempatnya di hati, maka secara logis pula hati harus benar-benar dipersiapkan untuk tertatanya niat yang benar itu. Hati yang kurang siap, rentang labil dan goyah. Maka niat yang ada di hati juga menjadi labil dan mudah goyah.
Kesimpulannya adalah bahwa perjalanan Ibadah haji itu merupakan miniatur kehidupan nyata manusia. Dari Persiapan hingga Akhir perjalanan menggambarkan kehidupan nyata. Maka jika kehidupan nyata memerlukan tiga elemen dasar Persiapan, haji juga demikian.
Semoga jamaah haji semuanya dikaruniai haji mabrur oleh Allah SWT. Amin!
Hajj Journey- 06
Imam Shamsi Ali*
Oleh karena haji adalah ibadah yang mendasar dalam Islam maka sudah pasti tiuntunannya sangat detal dan jelas dari Rasulullah SAW.
Jika sholat diperintah “sholatlah sebagaimana kamu melihatku sholat”. Maka haji oleh Rasulullah SAW juga diperintahkan: “ambillah dariku manasikmu”. Artinya dalam melakukan ibadah haji, lakukanlah sesuai cara dan ketentuan yang Rasulullah SAW telah contohkan.
Ada beberapa kekeliruan fatal di kalangan sebagian umat Islam. Terkadang kita melihat sebagian orang menunaikan ibadah haji sesuai tradisi atau budaya yang Selama ini berlaku. Padahal ibadah harus terbangun di atas dasar “al-ittiba’”. Yaitu dalam melakukannya harus sesuai dengan tuntutan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW.
Tiga cara memulai ibadah haji
Dalam tuntunan Rasulullah SAW ada tiga cara dalam melakukan ibadah haji: Ifrad, Qiran, Tamattu’.
Haji Ifrad adalah dalam musim haji tahun itu seseorang hanya meniatkan melakukan ibadah haji. Sehingga ketika memulai ihramnya, niat yang dilafazkan semata bertujuan untuk menunaikan ibadah haji.
Bentuk niat Ifrad adalah: “labbaika allahumma hajjan”. (Ya Allah aku datang memenuhi panggilanMu untuk berhaji).
Ketika berhaji dengan cara Ifrad ini maka sang haji tidak diharuskan menyembelih sembelihan. Sembelihan ini lazimnya disebut “DAM” yang berarti “darah”. Karena menyembelih hewan itu identik dengan “mengalirkan darah”.
Haji Qiran adalah ketika seseorang dalam musim itu berniat untuk Umrah dan haji sekaligus. Karena niatnya memang melakukan umrah dan haji sekaligus maka Lafaz niat ihramnya menyebutkan keduanya.
Bentuk niat Qiran adalah “Labbaika allahumma hajjan wa umratan” (ya Allah kami datang memenuhi panggilanmu untuk berhaji dan berumrah).
Haji dengan cara Qiran (artiny menggabung) atau menggabung antara pelaksanaan haji dan umrah mengharuskan pelakuny untuk memotong hewan (kambing atau domba).
Haji Tamattu’ adalah ketika dalam sebuah musim haji seseorang berihram (berniat) untuk melakukan umrah, lalu pada musim yang sama kembali berihram untuk melakukan haji.
Artinya seseorang yang akan berhaji dengan Cara tamattu’ ini ketika berihram hanya menyebutkan niat umrah saja. Lafaznya adalah “Labbaika allahumma umratan” (ya Allah saya hadir memenuhi panggilanMu untuk berumrah).
Tamattu’ berarti “bersenang-senang”. Berasal dari kata “mataa’ atau kesenangan. Kata ini relevansinya adalah karena orang yang ihram untuk umrah itu setelah melakukan umrah kembali bersenang menikmati kehidupan normal. Dia tidak lagi terikat oleh aturan/larangan ihram.
Seorang haji yang melakukan hajinya secara tamattu’ diwajibakan menyembelih binatang (kambing/domba).
Lalu mana yang terbaik dari tiga cara berhaji itu? Jawabannya tidak ada yang pasti. Walau Rasulullah SAW melakukan Qiran, beliau justeru setuju dengan sahabatnya melakukan Ifrad atau tamattu’.
Saya kira keistimewaan masing-masing ditentukan oleh niat dan tatacara pelaksanaannya (benar atau semrawut).
Rukun-rukun haji
Mayoritasnya ulama menyebutkan lima rukun ibadah haji: Niat Ihram, Wukuf Arafah, Thawaf, Sa’i, dan Tahallul.
Ada pula yang menggantikan Tahallul dengan melempar Jamarat sebagai salah satu rukun haji.
Rukun artinya amalan-amalan haji Yang tidak boleh sama sekali ditinggalkan. Meninggal salah satunya berarti haji tidak sah atau batal dengan sendirinya. Seorang yang sudah ihram misalnya, lalu Wukuf di Arafah. Tapi karena satu dan lain hal dia tidak melakukan thawaf, maka hajinya batal.
Ihram
Ihram itu berarti “mensucikan atau kesucian”. Dari kata “al-haram” (suci). Sebagai masjid suci di Mekah dikenal dengan nama “almasjidul haraam”.
Ihram sesungguhnya adalah kata lain dari melakukan secara formal “niat” beribadah haji. Maka substansi dasar atau esensi terpenting dari Ihram itu adalah niatnya. Bukan sekedar pakaiannya.
Ada beberapa hal yang menjadi kewajiban di saat melakukan Ihram itu. Salah satu yang terpenting adalah melakukan niat (melafazkan niat ihram: Labbaika allahumma hajjan misalnya) di luar dari garis lurus apa Yang disebut “mirata”. Yaitu tempat yang telah ditetapkan sebagai tempat memulai niat, atau juga sebelum Melewati tempat itu.
Jika karena satu dan lain hal seorang haji mengucapkan niatnya setelah melewati batas miqat tadi maka dia diharuakan memotong DAM sebagai komtimen.
Hal-hal lain yang menjadi sunnahnya adalah mandi (seperti mandi besar), potong-potong rambut yang perlu, beruwudhu jika harus, melepaskan semua pakaian regular yang berjahit. Setelah itu bagi pria memakai dua helai kain putih. Bagi wanita dengan pakaian Muslimah lengkap.
Sunnahnya mengucapkan niat setelah sholat. Walau sebagian besar ulama mengatakan bahwa dalam hukum Syariah sesungguhnya tidak ada yang disebut “sholat sunnah Ihram”. Maka sunnah melafazkan niat Ihram hendaknya dilakukan setalah sholat.
Setelah melafazkan niat (sesuai cara haji tadi; Ifrad, Quran atau tamattu) maka seluruh larangan-larangan selama ihram berlaku.
Di antara larangan-larangan itu adalah: memakai wangian, memotong kuku atau rambut, mencabut pepohonan, membunuh binatang yang tidak membahayakan, bercumbu apalagi berhubungan suami isteri. Menikah atau menikahkan juga dilarang.
Khusus bagi pria dilarang menutupi mata kaki dan kepala (yang melekat). Kalau tidak melekat di kepala, payung atau tenda tidak masalah. Untuk wanita secara khusus tidak boleh menutup wajahnya.
Masing-masing larangan di atas jika dilanggar ada tebusan yang harus dilakukan. Yang terbesar adalah ketika melakukan hubungan suami isteri di saat Ihram maka pelakunya diharuskan memotong onta dan harus kembali tahun berikutnya untuk menunaikan ibadah haji.
Pelanggaran lainnya ditebus sesuai aturan masing-masing yang diatur oleh hukum fiqh yang telah menjadi baku dalam agama kita. Semua itu dapat dirujukkan kepada ragam buku-buku fiqh yang ada.
Hajj Journey- 07
Imam Shamsi Ali*
Disebutkan terdahulu bahwa Ihram menjadi salah satu rukun dari haji. Terkadang orang salah memahami jika ihram itu adalah memakai dua potong kain tak berjahit. Padahal kain itu hanya kelengkapan dari Ihram.
Ihram itu ditentukan oleh niatnya. Karenanya jangan tertipu dengan pakaian. Lalu setelah itu lupa yang mendasar dari ihram. Yaitu melafazkan niat ibadah, baik umrah maupun haji.
Thawaf
Rukun Kedua dari haji itu adalah Tawaf. Tawaf artinya keliling. Yaitu mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali dengan niat ibadah karena Allah SWT. Hal ini diperintahkan dalam Al-Quran: “Dan hendaklah mereka mengelilingi rumah tua (Ka’bah) itu”.
Walaupun cara melakukannya sama semua, sebenarnya ada beberapa macam tawaf. Perbedaannya ditentukan oleh tujuan atau niat melakukannya.
Ada yang disebut Tawaf Qudum atau tawaf Selamat datang bagi yang melakukan haji Ifrad. Tawaf yang dilakukan pertama kali memasuki masjidil haram. Bukan untuk tujuan umrah. Bukan pula untuk haji. Tapi sekedar Tawaf Selamat datang ke tanah haram.
Ada Tawaf-Tawaf sunnah biasa. Perlu diketahui bahwa masjidil haram itu memiliki beberapa pengecualian. Salah satu di antaranya adalah jika di masjid-masjid lain jika masuk di dalamnya disunnahkan sholat tahiyatul masjid (penghormatan kepada masjid), maka di masjidil haram bukan sholat. Tapi melakukan Tawaf sebagai pengganti tahiyatul masjid.
Tawaf-Tawaf sunnah juga bisa dilakukan kapan saja jika memungkinkan dan ada waktu untuk itu. Setelah sholat-sholat wajib misalnya. Daripada diam dan tidak melakukan ibadah, diganti dengan tawaf sunnah.
Intinya Tawaf sunnah itu kapan saja jika ada di masjidil haram dan ingin melakukannya untuk mendapatkan pahala Allah SWT.
Thawaf rukun umrah adalah tawaf Yang dilakukan dalam rangkaian ibadah umrah di saat melakukan ibadah umrah.
Sementara tawaf haji yang dikenal dengan sebutan “Tawaf ifadhoh” adalah satu dari rukun penting ibadah haji. Tawaf ifadhoh sebagai salah satu rukun haji umumnya dilakukan setelah selesai melempar Jumrah Aqabah.
Dan yang terakhir adalah Tawaf wada’. Tawaf yang dilakukan sebagai ungkapan Selamat tinggal ini dilakukan di saat akan meninggalkan tanah haram kembali ke kampung masing-masing.
Untuk sahnya Tawaf, orang yang Tawaf harus dalam keadaan wudhu. Karena sesungguhnya Tawaf itu sama statusnya dengan sholat. Hanya saja ketika Tawaf boleh berbicara (yg baik-baik). Sementara ketika sholat tidak diperkenankan berbicara.
Tujuh putaran
Tadi disebutkan bahwa semua macam tawaf tadi dilakukan dengan cara yang sama. Bedanya ada pada niat masing-masing.
Tawaf dimulai dari sudut Ka’bah di mana Hajar Aswad tertempel. Umumnya sudut ini dikenal sebagai sudut pertama. Tawaf dimulai dengan mencium Hajar Aswad (jika memungkinkan). Atau sekedar angkat tangan ke arah Hajar Aswad dan cium tangan sebagai gantinya.
Mulailah berjalan sambil membaca doa, dzikir, baca Al-Quran, tasbih, dan lain-lain. Diperbolehkan berbicara tentunya yang baik-baik saja.
Demikian putaran dilakukan hingga sampai ke sudut keempat, yang dikenal dengan nama “Rukun Yamani”. Antara sudut ini dan sudut pertama (Hajar Aswad) doa yang disunnahkan adalah: “Rabbana atina fiddunya Hasanah wa fil Akhirati hasanah wa qinaa adzabannar”.
Demikian putaran demi putaran dilakukan hingga berakhir pada putaran ketujuh.
Satu yang saya ingin koreksi dari jamaah haji atau umrah adalah ketika Tawaf biasanya berteriak-teriak membaca doa dalam bahasa Arab. Ada dua masalahnya.
Pertama, khususnya yang non Arab yang seringkali bacaannya tidak benar. Ketika yang mendengar itu paham bahasa Arab maka pasti akan terasa geli.
Kedua, tanpa disadari membaca doa atau dzikir dengan teriak-tariak itu mengganggu orang lain.
Karenanya bagi saya, lebih baik membaca doa dengan suara kecil, bahkan dalam hati saja. Jika hafal doa dalam bahasa bagus. Tapi jika tidak, doa itu dalam bahasa apa saja boleh. Toh semua bahasa adalah ciptaan Allah SWT.
Setelah selesai putaran ketujuh orang yang Tawaf disunnahkan sholat sunnah di belakang Maqam Ibrahim AS. Maqam itu artinya tempat berdiri ketika Ibrahim meninggikan Ka’bah. Bukan kuburannya.
Pada rakaat pertama dibaca Al-Fatihah dan Al-Kafirun. Dan pada rakaat Kedua dibaca Al-Fatihah dan Al-Ikhlas.
Setelah sholat dilanjutkan dengan membaca doa, yang disunnahkan di Multazam. Doa di Multazam ini tidak ditolak, sabda Rasulullah SAW.
Multazam itu adalah tempat di antara pintu Ka’bah dan Hajar Aswad. Tapi untuk kembali ke sana berdoa hampir tidak Mungkin saking ramaianya, khususnya di musim haji. Maka doa cukup dilakukan saja di tempat di mana sholat sunnah tawaf dilakukan.
Biasanya Tawaf itu diakhiri dengan meminum air Zamzam. Selain memang pasti cukup kehausan karena melakukan Tawaf yang melelahkan, khususnya di musim haji. Juga minum air zamzam merupakan sunnah,nsyifa (obat), bahkan tujuannya tergantung keinginan yang meminumnya.
Rasulullah SAW bersabda: “air zamzam itu manfaatnya untuk tujuan apa saja bagi yang meminumnya”.
Hajj Journey- 08
Imam Shamsi Ali*
Hajj Journey- 09
Imam Shamsi Ali*
Dalam sebuah haditsnya Rasulullah SAW pernah menekankan seolah semua intisari pelaksanaan haji itu ada pada wukuf di Arafah. Beliau nampaknya ingin menggambarkan urgensi mendasar dari rukun haji ini. Bahwasanya wukuf itu menyimpulkan semua amalan haji.
Sabda beliau: ”Al-hajju Arafah” (haji itu adalah Arafah.
Wukuf itu berasal dari kata ”waqafa-yaqifu-waqfun wa wuquufun”. Yang berarti berdiri atau berhenti.
Maka wukuf di Arafah dapat dipahami sebagai berhenti atau berada di padang Arafah pada waktu tertentu (9 Dzulhijjah antara Zhuhur dan Magrib) dengan niat sebagai ibadah kepada Allah SWT.
Wukuf di Arafah formalnya dimulai ketika waktu sholat zhuhur telah tiba. Dimulai dengan sholat Zhuhur dan Asar (Jama’ Qasr) lalu diikuti dengan khutbah Arafah oleh Khatib. Dilanjutkan kemudian dengan doa, boleh bersama-sama atau sendiri-sendiri.
Satu hal harus menjadi catatan penting bagi jamaah haji adalah bahwa ketika matahari telah tergelincir atau masuk waktu zhuhur maka mereka tidak diperbolehkan untuk keluar dari daerah Arafah, walau sejengkal. Berada di dalam daerah wukuf merupakan kewajiban hingga terbenam matahari.
Jika kalau sampai keluar dari Arafah walau satu jengkal saja maka sebuah wajib haji haji dilanggar. Itu berarti yang bersangkutan harus membayar DAM atau menyembelih gambling atau domba.
Orang yang wukuf di Arafah tidak harus dalam keadaan wudhu. Walaupun pastinya harus memulai dalam keadaan wudhu karena wukuf dimulai dengan sholat zhuhur. Namun setelah itu jika wudhu’nya batal, yang bersangkutan tidak diharuskan berwudhu.
Walaupun demikian, para ulama sangat menganjurkan agar jamaah yang sedang wukuf sebisanya dalam keadaan wudhu. Karena wukuf Arafah adalah ibadah penting dan setiap ibadah hendaknya dilakukan dalam keadaan wudhu.
Selama wukuf di Arafah jamaah haji sangat dianjurkan untuk memperbanyak doa, dzikir, tasbih, tahmid, atau beristigfar sebanyak mungkin. Atau juga membaca Ayat-ayat suci Al-Quran. Atau melanjutkan talbiyah yang dibaca sejak awal ihramnya.
Dzikir yang paling afdhol dibaca selama wukuf adalah: ”laa ilaaha illallah wahdahu laa syariika lahu lahul mulku walhul hamdu wa huwa alaa kulli syaein Qadiir”.
Jamaah yang sedang wukuf juga diperbolehkan untuk berbicara (yang baik-baik). Bahkan juga tidak dilarang tidur jika memang kelelahan.
Demikian seterusnya hingga menjelang terbenam matahari, para jamaah sangat dianjurkan untuk keluar dari tenda-tendanya untuk berdoa di bawah langit yang terbuka. Rasulullah SAW melakukan itu, bahkan mengangkat tangannya ke langit tinggi-tinggi.
Jika matahari terbenam (masuk waktu margib) para jamaah diperbolehkan untuk meninggalkan Aafah. Mereka tidak melakukan sholat Magrib di Arafah. Tapi melakukan sholat Magrib dan Isya dengan jama’ qashar di Muzdalifah.
Kesimpulannya Wukuf di Arafah adalah salah Satu dari rukun haji yang terpenting. Bahkan orang yang sakit keras pun jika Sudan dalam keadaan ihram, wajib dibawa atau dihadirkan di Arafah walau sekejap.
Imam Shamsi Ali*
Dalam sebuah haditsnya Rasulullah SAW pernah menekankan seolah semua intisari pelaksanaan haji itu ada pada wukuf di Arafah. Beliau nampaknya ingin menggambarkan urgensi mendasar dari rukun haji ini. Bahwasanya wukuf itu menyimpulkan semua amalan haji.
Sabda beliau: ”Al-hajju Arafah” (haji itu adalah Arafah.
Wukuf itu berasal dari kata ”waqafa-yaqifu-waqfun wa wuquufun”. Yang berarti berdiri atau berhenti.
Maka wukuf di Arafah dapat dipahami sebagai berhenti atau berada di padang Arafah pada waktu tertentu (9 Dzulhijjah antara Zhuhur dan Magrib) dengan niat sebagai ibadah kepada Allah SWT.
Wukuf di Arafah formalnya dimulai ketika waktu sholat zhuhur telah tiba. Dimulai dengan sholat Zhuhur dan Asar (Jama’ Qasr) lalu diikuti dengan khutbah Arafah oleh Khatib. Dilanjutkan kemudian dengan doa, boleh bersama-sama atau sendiri-sendiri.
Satu hal harus menjadi catatan penting bagi jamaah haji adalah bahwa ketika matahari telah tergelincir atau masuk waktu zhuhur maka mereka tidak diperbolehkan untuk keluar dari daerah Arafah, walau sejengkal. Berada di dalam daerah wukuf merupakan kewajiban hingga terbenam matahari.
Jika kalau sampai keluar dari Arafah walau satu jengkal saja maka sebuah wajib haji haji dilanggar. Itu berarti yang bersangkutan harus membayar DAM atau menyembelih gambling atau domba.
Orang yang wukuf di Arafah tidak harus dalam keadaan wudhu. Walaupun pastinya harus memulai dalam keadaan wudhu karena wukuf dimulai dengan sholat zhuhur. Namun setelah itu jika wudhu’nya batal, yang bersangkutan tidak diharuskan berwudhu.
Walaupun demikian, para ulama sangat menganjurkan agar jamaah yang sedang wukuf sebisanya dalam keadaan wudhu. Karena wukuf Arafah adalah ibadah penting dan setiap ibadah hendaknya dilakukan dalam keadaan wudhu.
Selama wukuf di Arafah jamaah haji sangat dianjurkan untuk memperbanyak doa, dzikir, tasbih, tahmid, atau beristigfar sebanyak mungkin. Atau juga membaca Ayat-ayat suci Al-Quran. Atau melanjutkan talbiyah yang dibaca sejak awal ihramnya.
Dzikir yang paling afdhol dibaca selama wukuf adalah: ”laa ilaaha illallah wahdahu laa syariika lahu lahul mulku walhul hamdu wa huwa alaa kulli syaein Qadiir”.
Jamaah yang sedang wukuf juga diperbolehkan untuk berbicara (yang baik-baik). Bahkan juga tidak dilarang tidur jika memang kelelahan.
Demikian seterusnya hingga menjelang terbenam matahari, para jamaah sangat dianjurkan untuk keluar dari tenda-tendanya untuk berdoa di bawah langit yang terbuka. Rasulullah SAW melakukan itu, bahkan mengangkat tangannya ke langit tinggi-tinggi.
Jika matahari terbenam (masuk waktu margib) para jamaah diperbolehkan untuk meninggalkan Aafah. Mereka tidak melakukan sholat Magrib di Arafah. Tapi melakukan sholat Magrib dan Isya dengan jama’ qashar di Muzdalifah.
Kesimpulannya Wukuf di Arafah adalah salah Satu dari rukun haji yang terpenting. Bahkan orang yang sakit keras pun jika Sudan dalam keadaan ihram, wajib dibawa atau dihadirkan di Arafah walau sekejap.
Hajj Journey- 10
Imam Shamsi Ali*
Hajj Journey- 11
Imam Shamsi Ali*
Setelah melempar Jumrah Aqabah pada tanggal 10 Zulhijjah jamaah pada umumnya langsung ke Mekah untuk melakukan Tawaf dan Sa’i. Tawaf ini adalah Tawaf haji yang dikenal dengan Tawaf Ifadhoh.
Setelah Tawaf dan Sa’i haji, jamaah secara otomatis memasuki situasi Tahallul Tsani. Artinya tidak ada lagi larangan Ihram yang berlaku. Sang haji telah halal (bebas) dari larangan-larangan Ihram.
Setelah melakukan Tawaf di masjidil haram, jamaah diharuskan untuk kembali ke Mina sebelum terbenam matahari sore itu untuk melakukan mabit. Mabit di Mina, sebagaimana melempar Jumrah, adalah bagian dari wajib haji. Artinya jika tidak dilakukan maka haji diharuskan memotong kambing atau domba.
Mabit di Mina, seperti disebutkan terdahulu, boleh dua malam atau tiga malam. Keduanya disebutkan secara sama dalam Al-Quran.
Selama dua malam (11, 12) atau tiga malam (11, 12, 13) bermalam di tenda-tenda Mina yang memang permanen (ber AC). Selama 2 hari 2 malam, atau 3 hari 3 malam jamaah akan melakukan sholat-sholat secara Qashar tanpa jama’.
Pada tanggal 11 Zulhijjah Setelah tergelincir matahri dilakukanlah pelemparan tiga jumatj (shugra, wustha dan Aqabah). Demikian juga pada tanggal 12 Zulhijjah. Dan tanggal 13 Zulhijjah bagi nafar tsani.
Memang Rasulullah melakukan pelemparan hari-hari Tasyri’ setelah tergelincir matahari. Tapi karena pada saat itu kemungkinan sangat padat, apalagi Saudi telah mengatur jadwal pelemparan itu, maka sebaiknya dicari saja waktu yang sesuai. Jangan dipaksakan untuk waktu tertentu demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Perlu diingat bahwa beberapa kali peristiwa buruk terjadi dimusim haji, terjadinya di Mina ini. Di tahun 1991 misalnya terjadi peristiwa terowomgan yang menegakkan artisan orang. Termasuk banyak dari kalangan jamaah haji Indonesia.
Melempar Jumrah Shugra dan Wustha dapat dilakukan dari arah mana saja. Yang penting batu lemparan hendaknya mengenai tiang (simbol syetan).
Tapi melempar Jumrah Aqabah disunnahkan dari seberang Ka’bah. Artinya melempar ke arah Ka’bah. Sebenarnya hal ini tidak susah karena tempat jatuhnya bebatuan Jumrah Aqabah memang hanya satu sebelah. Sementara tempat jatuhnya batu untuk Shugra dan Wustho mengelilingi tiang.
Sebenarnya ada perbedaan pendapat para ulama tentang Sasaran pelemparan ini. Ada yang mengatakan harus kena tiangnya. Dan ini yang mayoritas. Tapi ada pula yang mengatakan yang penting batunya terjatuh ke dalam tempat bebatuan yang disediakan itu.
Demikianlah amalan-amalan mabit dan melempar Jumrah dilakukan selama dua hari bagi nafar awal. Atau tiga hari bagi nafar tsani.
Mana yang lebih baik, nafar awal atau nafar tsani? Jawabannya sama saja. Yang menentukan niat dan cara pelaksanaanya (kesahihannya).
Bagi yang nafar awal harus meninggalkan Mina sebelum terbenam matahari pada tanggal 12 Zuilhijjah sore. Dan yang nafar tsani akan meninggalkan Mina pada tangga 13 Zulhijjah siang atau sore.
Dengan selesainya mabit dan pelemparan Jumrah di Mina selesai pula semua rangkaian ibadah haji. Tinggal satu amalan ritual yang wajib dilakukan oleh jamaah. Yaitu Tawaf Wada’.
Tawaf Wada’ atau Tawaf selamat tinggal adalah aktifitas terakhir yang dilakukan oleh jamaah sebelum meninggalkan tanah haram kembali ke negaranya. Cara melakukannya sama dengan Tawaf yang lain. Hanya saja niatnya adalah untuk Tawaf Wada’ tersebut.
Setelah Tawaf maka tidak ada lagi kegiatan di Tanah Haram. Tinggal baik bus menuju bandara untuk terbang kembali ke negara asal.
Semoga perjalanan haji para hujjaj dimudahkan, dan yang terpenting dikaruniai haji mabrur oleh Allah SWT. Amin....
Imam Shamsi Ali*
Setelah melempar Jumrah Aqabah pada tanggal 10 Zulhijjah jamaah pada umumnya langsung ke Mekah untuk melakukan Tawaf dan Sa’i. Tawaf ini adalah Tawaf haji yang dikenal dengan Tawaf Ifadhoh.
Setelah Tawaf dan Sa’i haji, jamaah secara otomatis memasuki situasi Tahallul Tsani. Artinya tidak ada lagi larangan Ihram yang berlaku. Sang haji telah halal (bebas) dari larangan-larangan Ihram.
Setelah melakukan Tawaf di masjidil haram, jamaah diharuskan untuk kembali ke Mina sebelum terbenam matahari sore itu untuk melakukan mabit. Mabit di Mina, sebagaimana melempar Jumrah, adalah bagian dari wajib haji. Artinya jika tidak dilakukan maka haji diharuskan memotong kambing atau domba.
Mabit di Mina, seperti disebutkan terdahulu, boleh dua malam atau tiga malam. Keduanya disebutkan secara sama dalam Al-Quran.
Selama dua malam (11, 12) atau tiga malam (11, 12, 13) bermalam di tenda-tenda Mina yang memang permanen (ber AC). Selama 2 hari 2 malam, atau 3 hari 3 malam jamaah akan melakukan sholat-sholat secara Qashar tanpa jama’.
Pada tanggal 11 Zulhijjah Setelah tergelincir matahri dilakukanlah pelemparan tiga jumatj (shugra, wustha dan Aqabah). Demikian juga pada tanggal 12 Zulhijjah. Dan tanggal 13 Zulhijjah bagi nafar tsani.
Memang Rasulullah melakukan pelemparan hari-hari Tasyri’ setelah tergelincir matahari. Tapi karena pada saat itu kemungkinan sangat padat, apalagi Saudi telah mengatur jadwal pelemparan itu, maka sebaiknya dicari saja waktu yang sesuai. Jangan dipaksakan untuk waktu tertentu demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Perlu diingat bahwa beberapa kali peristiwa buruk terjadi dimusim haji, terjadinya di Mina ini. Di tahun 1991 misalnya terjadi peristiwa terowomgan yang menegakkan artisan orang. Termasuk banyak dari kalangan jamaah haji Indonesia.
Melempar Jumrah Shugra dan Wustha dapat dilakukan dari arah mana saja. Yang penting batu lemparan hendaknya mengenai tiang (simbol syetan).
Tapi melempar Jumrah Aqabah disunnahkan dari seberang Ka’bah. Artinya melempar ke arah Ka’bah. Sebenarnya hal ini tidak susah karena tempat jatuhnya bebatuan Jumrah Aqabah memang hanya satu sebelah. Sementara tempat jatuhnya batu untuk Shugra dan Wustho mengelilingi tiang.
Sebenarnya ada perbedaan pendapat para ulama tentang Sasaran pelemparan ini. Ada yang mengatakan harus kena tiangnya. Dan ini yang mayoritas. Tapi ada pula yang mengatakan yang penting batunya terjatuh ke dalam tempat bebatuan yang disediakan itu.
Demikianlah amalan-amalan mabit dan melempar Jumrah dilakukan selama dua hari bagi nafar awal. Atau tiga hari bagi nafar tsani.
Mana yang lebih baik, nafar awal atau nafar tsani? Jawabannya sama saja. Yang menentukan niat dan cara pelaksanaanya (kesahihannya).
Bagi yang nafar awal harus meninggalkan Mina sebelum terbenam matahari pada tanggal 12 Zuilhijjah sore. Dan yang nafar tsani akan meninggalkan Mina pada tangga 13 Zulhijjah siang atau sore.
Dengan selesainya mabit dan pelemparan Jumrah di Mina selesai pula semua rangkaian ibadah haji. Tinggal satu amalan ritual yang wajib dilakukan oleh jamaah. Yaitu Tawaf Wada’.
Tawaf Wada’ atau Tawaf selamat tinggal adalah aktifitas terakhir yang dilakukan oleh jamaah sebelum meninggalkan tanah haram kembali ke negaranya. Cara melakukannya sama dengan Tawaf yang lain. Hanya saja niatnya adalah untuk Tawaf Wada’ tersebut.
Setelah Tawaf maka tidak ada lagi kegiatan di Tanah Haram. Tinggal baik bus menuju bandara untuk terbang kembali ke negara asal.
Semoga perjalanan haji para hujjaj dimudahkan, dan yang terpenting dikaruniai haji mabrur oleh Allah SWT. Amin....
Hajj Journey- 12
Imam Shamsi Ali*
Setelah seluruh rangkaian ritual haji Selesai dilaksanakan, jamaah dengan sendirinya resmi menjadi haji/hajjah. Gelar ini menjadi popular khususnya di negeri tercinta.
Kita menyebutkan di sesi awal catatan ringan ini bahwa haji, Selain bersifat konklusif (menyimpulkan), inklusif (merangkul), juga integratif (mengikat) semua aspek ajaran Islam. Pada haji ada aspek akidah, aspek ibadah, dan tentunya ada aspek penting dari Muamalat dan hubungan Internasional manusia.
Tapi juga tidak kalah pentingnya ibadah haji sesungguhnya adalah penggambaran dari siklus kehidupan manusia dari awal hingga akhir. Pada semua ritual ibadah itu tergambarkan semua tahapan yang berlaku dalam hidup manusia.
Dimulai dari kata haji yang identik dengan perjalanan (Journey). Sesungguhnya menggambarkan kepada kita bahwa hidup itu adalah perjalanan (a Journey). Maka tepat adanya jika haji adalah miniatur atau gambaran kecil dari perjalanan hidup manusia.
Ketika akan memulai perjalanan haji ada tiga aspek bekal (zaad) yang mutlak dipersiapkan. Persiapan materi dan fisikal. Persiapan ilmu dan pengetahuan. Dan tidak kalah pentingnya adalah persiapan spiritual kerohaniaan.
Persiapan materi dan fisikal termaknai dengan penciptaan manusia dari tanah liat. Manusia adalah juga bentuk fisikal dan secara mendasar memerlukan material dalam hidupnya. Makan, minum, tidur, kawin, olah raga, semua itu wujud dari Persiapan materi dan fisikal manusia itu.
Perjalanan ibadah haji juga mutlak dengan perbekalan “ilmu”. Semua Ibadah dalam Islam itu sejatinya dilakukan dengan dasar ilmu. Beribadah bukan sekedar dengan rasa dan emosi, apalagi ikut-ikutan.
Haji secara khusus diperintahkan “khudzu anni manasikakum”. Artinya berhajilah sesuai dengan Yang Aku sunnahkan, kata Rasulullah. Artinya Rasulullah memerintahkan umatnya untuk melakukan ibadah haji sesuai caranya. Dan untuk melakukan haji sesuai cara Rasul mutlak dengan ilmu.
Demikian pula hidup. Sukses takkan diraih tanpa ilmu dan pengetahuan. “Barangsiapa yang mau dunia hendaknya dengan ilmu. Barangsiapa yang mau sukse di Akhirat haruslah dengan ilmu. Dan Barangsiapa yang mau sukses pada keduanya hendklah dengan ilmu”.
Karenanya menguasai ilmu manasik dan makna-makna ritual haji menjadi sangat penting dalam Ibadah ini.
Dan tak kalah pentingnya adalah persiapan spiritual atau ruhani. Al-Quran mengingatkan: “ wa tazawwadu Fa inna khaeraz zaadit Taqwa”...bahwa sebaik-baik itu adalah ketakwaan. Substansi dasar dari ketakwaan adalah “khasyatullah” (rasa takut pada Allah). Dan khasyatullah adalah esensi ruhiyah Salam Islam.
Haji adalah ibadah yang lengkap. Dan Persiapan keruhaniaan menjadi sangat mendasar. Karena semua ibadah dibangun di atas kesiapan dan kebersihan hati.
Kebersihan hati dalam beribadah ini biasanya lebih dikenal dengan istilah “tazkiyah an nafs” (pensucian jiwa).
Perjalanan hidup manusia kiranya demikian pula. Tanpa Persiapan spiritualitas atau ruhani maka semua akan menjadi goyah dan goncang. Ketenangan hidup itu akan ditentukan oleh hati dan jiwa manusia. Sementara hati dan jiwa hanya dapat menjadi tenang ketika tingkat spiritualitas itu besar.
Kekuatan spiritualitas itu dibangun oleh kehadiran dzikrullah: “Bukankah dengan mengingat Allah hati-hati (quluub) menjadi tenang?”.
Hati yang gersang ruhani mudah sakit. Termasuk merasakan ketakutan (Khauf) dan kesedihan (hazan). Yang berbahaya ketika hati dan jiwa yang rapuh itu selalu terancam oleh apapun. Bahkan oleh kelebihan dan bahkan kebaikan orang lain misalnya. Irihati dan dengki adalah indikasi jiwa dan hati yang rapuh dan goyah.
Karenanya haji yang matang adalah haji yang dipersiapkan pada tiga aspek ini. Dan hidup yang matang juga adalah hidup yang terbangun di atas tiga fondasi Yang solid: materi/fisikal, ilmu/pengetahuan, dan ruhani/spiritualitas.
Imam Shamsi Ali*
Setelah seluruh rangkaian ritual haji Selesai dilaksanakan, jamaah dengan sendirinya resmi menjadi haji/hajjah. Gelar ini menjadi popular khususnya di negeri tercinta.
Kita menyebutkan di sesi awal catatan ringan ini bahwa haji, Selain bersifat konklusif (menyimpulkan), inklusif (merangkul), juga integratif (mengikat) semua aspek ajaran Islam. Pada haji ada aspek akidah, aspek ibadah, dan tentunya ada aspek penting dari Muamalat dan hubungan Internasional manusia.
Tapi juga tidak kalah pentingnya ibadah haji sesungguhnya adalah penggambaran dari siklus kehidupan manusia dari awal hingga akhir. Pada semua ritual ibadah itu tergambarkan semua tahapan yang berlaku dalam hidup manusia.
Dimulai dari kata haji yang identik dengan perjalanan (Journey). Sesungguhnya menggambarkan kepada kita bahwa hidup itu adalah perjalanan (a Journey). Maka tepat adanya jika haji adalah miniatur atau gambaran kecil dari perjalanan hidup manusia.
Ketika akan memulai perjalanan haji ada tiga aspek bekal (zaad) yang mutlak dipersiapkan. Persiapan materi dan fisikal. Persiapan ilmu dan pengetahuan. Dan tidak kalah pentingnya adalah persiapan spiritual kerohaniaan.
Persiapan materi dan fisikal termaknai dengan penciptaan manusia dari tanah liat. Manusia adalah juga bentuk fisikal dan secara mendasar memerlukan material dalam hidupnya. Makan, minum, tidur, kawin, olah raga, semua itu wujud dari Persiapan materi dan fisikal manusia itu.
Perjalanan ibadah haji juga mutlak dengan perbekalan “ilmu”. Semua Ibadah dalam Islam itu sejatinya dilakukan dengan dasar ilmu. Beribadah bukan sekedar dengan rasa dan emosi, apalagi ikut-ikutan.
Haji secara khusus diperintahkan “khudzu anni manasikakum”. Artinya berhajilah sesuai dengan Yang Aku sunnahkan, kata Rasulullah. Artinya Rasulullah memerintahkan umatnya untuk melakukan ibadah haji sesuai caranya. Dan untuk melakukan haji sesuai cara Rasul mutlak dengan ilmu.
Demikian pula hidup. Sukses takkan diraih tanpa ilmu dan pengetahuan. “Barangsiapa yang mau dunia hendaknya dengan ilmu. Barangsiapa yang mau sukse di Akhirat haruslah dengan ilmu. Dan Barangsiapa yang mau sukses pada keduanya hendklah dengan ilmu”.
Karenanya menguasai ilmu manasik dan makna-makna ritual haji menjadi sangat penting dalam Ibadah ini.
Dan tak kalah pentingnya adalah persiapan spiritual atau ruhani. Al-Quran mengingatkan: “ wa tazawwadu Fa inna khaeraz zaadit Taqwa”...bahwa sebaik-baik itu adalah ketakwaan. Substansi dasar dari ketakwaan adalah “khasyatullah” (rasa takut pada Allah). Dan khasyatullah adalah esensi ruhiyah Salam Islam.
Haji adalah ibadah yang lengkap. Dan Persiapan keruhaniaan menjadi sangat mendasar. Karena semua ibadah dibangun di atas kesiapan dan kebersihan hati.
Kebersihan hati dalam beribadah ini biasanya lebih dikenal dengan istilah “tazkiyah an nafs” (pensucian jiwa).
Perjalanan hidup manusia kiranya demikian pula. Tanpa Persiapan spiritualitas atau ruhani maka semua akan menjadi goyah dan goncang. Ketenangan hidup itu akan ditentukan oleh hati dan jiwa manusia. Sementara hati dan jiwa hanya dapat menjadi tenang ketika tingkat spiritualitas itu besar.
Kekuatan spiritualitas itu dibangun oleh kehadiran dzikrullah: “Bukankah dengan mengingat Allah hati-hati (quluub) menjadi tenang?”.
Hati yang gersang ruhani mudah sakit. Termasuk merasakan ketakutan (Khauf) dan kesedihan (hazan). Yang berbahaya ketika hati dan jiwa yang rapuh itu selalu terancam oleh apapun. Bahkan oleh kelebihan dan bahkan kebaikan orang lain misalnya. Irihati dan dengki adalah indikasi jiwa dan hati yang rapuh dan goyah.
Karenanya haji yang matang adalah haji yang dipersiapkan pada tiga aspek ini. Dan hidup yang matang juga adalah hidup yang terbangun di atas tiga fondasi Yang solid: materi/fisikal, ilmu/pengetahuan, dan ruhani/spiritualitas.
Hajj Journey- 13
Imam Shamsi Ali*
Dengan kesiapan perbekalan yang matang itu jamaah haji memulai perjalanan jauh itu. Hal pertama yang akan dilakukan adalah memulai dengan “niat suci” di tempat yang telah ditentukan.
Ihram di miqat bagaikan ketika terjadi “Aqad ubudiyah” antara Tuhan dan hambaNya. Di saat manusia masih dalam proses eksistensinya, seorang hamba mengambil janji itu:
Tuhan: “alastu biRabbikum” (Bukankah Aku Tuhan/sembahanmu)?
Hamba: “Balaa Syahidna” (Benar, Kami memberikan kesaksian kami”.
Dialog antara seorang hamba dan Tuhannya ini memulai prosesi perjalanan itu. Perjalanan ke dunia fana dengan tujuan yang satu: “liya’buduun” (untuk menyembah/mengabdi kepada Tuhan Yang Satu).
Prosesi inilah yang tersimbolkan ketika di miqat atau tempat yang telah ditentukan untuk memulai niat haji/umrah. Waktu yang ditentukan (miqat) menggambarkan keputusan Allah yang pasti dan mutlak.
Ihram dimulai dengan komitmen memenuhi panggilan. Sebuah panggilan suci untuk melakukan ibadah/pengabdian. Sejatinya demikianlah hidup ini. Eksistensi hidup bagi seorang Mukmin adalah panggilan: “Wahai manusia sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan mereka yang sebelum kamu. Mudah-mudahan kamu bertakwa”. (al-Baqarah: 21).
Perintah itu adalah perintah pertama dalam Al-Quran berdasarkan urut ayatnya. Dan ini pulalah yang dipenuhi oleh jamaah haji dengan komtimen itu: “Labbaik allahumma labbaik. Labbaika laa syariikan laka. Innal hamda wanni’mata laka walmulk, laa syariik lak”.
Memenuhi seruan: “Ya Allah kami datang memenuhi seruanMu. Kami datang untukMu, tiada sekutu bagiMu. Sesungguhnya segala pujian, kenikmatan, dan kekuasaan hanya milikMu semata. Tiada sekutu bagiMu”.
Sejak terjadinya janji suci (aqad) dengan Tuhan sebelum memulai perjalanan sucinya di bumi ini manusia sadar bahwa perjalanan itu adalah panggilan suci. Panggilan untuk melakukan ubudiyah (pengabdian) hanya kepadaNya.
FirmanNya: “Tidaklah Aku menciotakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah (mengabdi kepadaKu) (Al-Quran).
Demikianlah dengan perjalanan suci ini. Semuanya dimulai dengan janji suci pula dan untuk tujuan suci: laa syariika lak. Ungkapan ketauhidan sejati. Bahwa perjalanan hidup ini bukan untuk siapa-siapa. Tapi untuk Dia Yang telah mencintai langit dan bumi. Untuk Rabbul alamin.
Tawaf
Setiba di Mekah jamaah akan melakukan Tawaf. Jika melakukan haji Ifrad maka dia akan melakukan Tawaf qudum. Jika qiran maka akan melakukan tawaf umrah dan haji sekaligus. Tapi jika melakukan haji tamattu’ maka mereka akan melakukan Tawaf Umrah.
Tawaf substansinya memutari Ka’bah. Ka’bah adalah pusat pengabdian. Di arah inilah wajah-wajah ubbaad (para penyembah) mengarah. “Fawalli wajhaka syatral masjidil haram”.
Tawaf sesungguhnya merupakan simbolisasi dari perjalanan hidup yang berkeliling. Segala sesuatu di alam semesta ini berputar. “Wa kullun fii falakin yasbahuun”. (Semua di alam semesta ini Bergerak/berputar). Planet bumi, bulan, bintang-bintang semuanya berputar.
Siang malam juga berputar. Musim juga demikian. Bahkan keadaan hidup manusia demikian. Berputar dari masa kanak-kanak, remaj dan pemuda, menjadi tua. Lalu akan tiba masa kembali lagi bagaikan kanak-kanak yang tidak mengenal apa-apa.
Jika tidak mencapai situasi itu maka perputaran membawanya ke alam lain. Alam kubur untuk menjadi “transit place” sebelum bertolak ke kediaman aabadinya.
Tawaf juga merupakan simbolisasi dari hiruk pikuk perputaran hidup manusia. Bahwa manusia dalam hidupnya berputar. Naik turun, ke Timur ke barat, selatan utara.
Berputar dari sebuah situasi ke situasi yang lain. Sehat sakit, kaya miskin, terhormat terhinakan. Hidup kadang membuatnya gembira. Tapi juga membawanya ke alam kesedihan.
Perputaran hidup itu tiada henti. Perputaran atau pergerakan (harakah) sudah merupakan tabiat hidup itu sendiri. Ketika hidup stagnan (terhenti) maka terhenti pula kehidupan itu.
Dalam proses berputar sekitar Ka’bah itu ada satu hal yang harus menjadi catatan. Ka’bah harus berada di pusat perputarannya. Ka’bah adalah simbolisasi kebesaran dan kekuasaan Tuhan. Maka jika ditarik ke kehidupan nyata, perputaran atau perjalanan hidup harus selalu menjadikan Allah sebagai pusat pergerakannya.
Inilah yang tergambarkan dalam Ikrar ubudiyah: “Katakan, sesungguhnya sholat, pengorbananku, kehidupan dan kemarianku untuk Allah Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya”.
Atau dalam bahasa hajinya Allah: “Labbaik allahumma Labbaik...dan seterusnya”.
Imam Shamsi Ali*
Dengan kesiapan perbekalan yang matang itu jamaah haji memulai perjalanan jauh itu. Hal pertama yang akan dilakukan adalah memulai dengan “niat suci” di tempat yang telah ditentukan.
Ihram di miqat bagaikan ketika terjadi “Aqad ubudiyah” antara Tuhan dan hambaNya. Di saat manusia masih dalam proses eksistensinya, seorang hamba mengambil janji itu:
Tuhan: “alastu biRabbikum” (Bukankah Aku Tuhan/sembahanmu)?
Hamba: “Balaa Syahidna” (Benar, Kami memberikan kesaksian kami”.
Dialog antara seorang hamba dan Tuhannya ini memulai prosesi perjalanan itu. Perjalanan ke dunia fana dengan tujuan yang satu: “liya’buduun” (untuk menyembah/mengabdi kepada Tuhan Yang Satu).
Prosesi inilah yang tersimbolkan ketika di miqat atau tempat yang telah ditentukan untuk memulai niat haji/umrah. Waktu yang ditentukan (miqat) menggambarkan keputusan Allah yang pasti dan mutlak.
Ihram dimulai dengan komitmen memenuhi panggilan. Sebuah panggilan suci untuk melakukan ibadah/pengabdian. Sejatinya demikianlah hidup ini. Eksistensi hidup bagi seorang Mukmin adalah panggilan: “Wahai manusia sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan mereka yang sebelum kamu. Mudah-mudahan kamu bertakwa”. (al-Baqarah: 21).
Perintah itu adalah perintah pertama dalam Al-Quran berdasarkan urut ayatnya. Dan ini pulalah yang dipenuhi oleh jamaah haji dengan komtimen itu: “Labbaik allahumma labbaik. Labbaika laa syariikan laka. Innal hamda wanni’mata laka walmulk, laa syariik lak”.
Memenuhi seruan: “Ya Allah kami datang memenuhi seruanMu. Kami datang untukMu, tiada sekutu bagiMu. Sesungguhnya segala pujian, kenikmatan, dan kekuasaan hanya milikMu semata. Tiada sekutu bagiMu”.
Sejak terjadinya janji suci (aqad) dengan Tuhan sebelum memulai perjalanan sucinya di bumi ini manusia sadar bahwa perjalanan itu adalah panggilan suci. Panggilan untuk melakukan ubudiyah (pengabdian) hanya kepadaNya.
FirmanNya: “Tidaklah Aku menciotakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah (mengabdi kepadaKu) (Al-Quran).
Demikianlah dengan perjalanan suci ini. Semuanya dimulai dengan janji suci pula dan untuk tujuan suci: laa syariika lak. Ungkapan ketauhidan sejati. Bahwa perjalanan hidup ini bukan untuk siapa-siapa. Tapi untuk Dia Yang telah mencintai langit dan bumi. Untuk Rabbul alamin.
Tawaf
Setiba di Mekah jamaah akan melakukan Tawaf. Jika melakukan haji Ifrad maka dia akan melakukan Tawaf qudum. Jika qiran maka akan melakukan tawaf umrah dan haji sekaligus. Tapi jika melakukan haji tamattu’ maka mereka akan melakukan Tawaf Umrah.
Tawaf substansinya memutari Ka’bah. Ka’bah adalah pusat pengabdian. Di arah inilah wajah-wajah ubbaad (para penyembah) mengarah. “Fawalli wajhaka syatral masjidil haram”.
Tawaf sesungguhnya merupakan simbolisasi dari perjalanan hidup yang berkeliling. Segala sesuatu di alam semesta ini berputar. “Wa kullun fii falakin yasbahuun”. (Semua di alam semesta ini Bergerak/berputar). Planet bumi, bulan, bintang-bintang semuanya berputar.
Siang malam juga berputar. Musim juga demikian. Bahkan keadaan hidup manusia demikian. Berputar dari masa kanak-kanak, remaj dan pemuda, menjadi tua. Lalu akan tiba masa kembali lagi bagaikan kanak-kanak yang tidak mengenal apa-apa.
Jika tidak mencapai situasi itu maka perputaran membawanya ke alam lain. Alam kubur untuk menjadi “transit place” sebelum bertolak ke kediaman aabadinya.
Tawaf juga merupakan simbolisasi dari hiruk pikuk perputaran hidup manusia. Bahwa manusia dalam hidupnya berputar. Naik turun, ke Timur ke barat, selatan utara.
Berputar dari sebuah situasi ke situasi yang lain. Sehat sakit, kaya miskin, terhormat terhinakan. Hidup kadang membuatnya gembira. Tapi juga membawanya ke alam kesedihan.
Perputaran hidup itu tiada henti. Perputaran atau pergerakan (harakah) sudah merupakan tabiat hidup itu sendiri. Ketika hidup stagnan (terhenti) maka terhenti pula kehidupan itu.
Dalam proses berputar sekitar Ka’bah itu ada satu hal yang harus menjadi catatan. Ka’bah harus berada di pusat perputarannya. Ka’bah adalah simbolisasi kebesaran dan kekuasaan Tuhan. Maka jika ditarik ke kehidupan nyata, perputaran atau perjalanan hidup harus selalu menjadikan Allah sebagai pusat pergerakannya.
Inilah yang tergambarkan dalam Ikrar ubudiyah: “Katakan, sesungguhnya sholat, pengorbananku, kehidupan dan kemarianku untuk Allah Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya”.
Atau dalam bahasa hajinya Allah: “Labbaik allahumma Labbaik...dan seterusnya”.
Hajj Journey- 14
Imam Shamsi Ali*
Imam Shamsi Ali*
Hajj Journey- 15
Imam Shamsi Ali*
Imam Shamsi Ali*
Hajj Journey- 16
Imam Shamsi Ali*
Hidup manusia yang alami, suci dan mulia itu seringkali, bahkan menjadi sunnah (aturan) Allah bahwa dalam perjalanannya mengalami berbagai interupsi (gangguan, godaan, tantangan). Di sinilah manusia kemudian terbagi dua. Ada yang “Muhtadiin” (tetap berada di atas fitrah) dan ada yang “dhoolliin” (tergelincir dari kefitrahan).
Hal ini sekaligus mengingatkan kita pertarungan antara kebenaran (al-haq) dan kejahatan (al-batil) sejak awal penciptaan manusia. Adam yang diciptakan dengan karakter kemuliaan lebih itu oleh Allah Iblis diperintah untuk memuliakannya.
Perintah memuliakan itu tersimbolkan oleh perintah Allah kepada Iblis untuk bersujud kepada Adam. “Sujuud ikraam” (pemuliaan) atau “sujuud ihtiram” (penghormatan). Bukan “sujuud ta’abbud” (sujud penyembahan).
Dalam candaan saya biasa mengatakan bahwa sungkeman orang Jawa kepada orang tua itu adalah implementasi perintah Al-Quran. Di mana sang anak bersimpuh menunduk seolah sujud kepada orang tuanya. Menghormati yang lebih tua dengan cara itu secara substansi nampaknya sangat Qurani.
Kemuliaan dan kehormatan yang diberikan kepada Adam itu ternyata menjadikan Iblis tumbang. Tumbang ketaatannya yang selama ini setingkat ketaatan malaikat. Iblis dengan keangkuhannya menolak perintah Tuhan untuk bersujud menghormati Adam AS.
Akibatnya, Iblis terusir dari rahmat Allah. Terusir keluar dari Syurga yang selama ini didiaminya dengan tenang. Iblis menjadi makhluk yang “rajiim” (terlaknat).
Kejatuhan Iblis itu menjadikannya semakin menjadi-jadi dalam dendam, irihati dan dengki kepada Adam AS. Maka sejak itu pula Iblis bertekad untuk menggoda dan menyesatkan anak cucu Adam.
Singkat cerita, sejak itu pertarungan sengit dan abadi terjadi antara dua makhluk Tuhan itu. Bahkan Adam sendiri belakangan sempat tergoda oleh rayuan Iblis untuk memakan “buah terlarang” (khuld) itu. Untung “rahmah” Allah segera menyelimuti beliau dan diampuni oleh Allah SWT.
Pertarungan demi pertarungan, godaan demi godaan dilancarkan oleh Iblis ke anak cucu Adam AS. Tidak sedikit di antara anak cucu Adam dan Hawa yang terjatuh. Kegigihannya juga tidak mengenal lelah.
Hingga masa Ibrahim AS di kemudian hari tiba. Ketika Allah mengujinya dengan ujian yang luar biasa. Barangkali dapat dikatakan sebuah ujian yang secara ukuran manusia “unbearable” (tidak mampu dilakukan). Setelah bertahun-tahun menungu anak, Allah mengaruniainya dengan seorang putra.
Ujian awal Allah memerintahkanya membawa anak itu ke sebuah lembah yang tiada tumbuh-tumbuhan (bi waadin ghaer zar’in inda baetikal muharram”. Lembah itulah yang saat ini dikenal dengan Mekah, yang dalamnya ada Rumah Tua (al-baetul ‘atiiq) yang menjadi kiblat penyembahan orang-orang yang beriman.
Saya katakan ujian karena saat itu lembah itu hanya tempat yang hampa, dikelilingi oleh gunung-gunung bebatuan yang ganas. Kata “ghaer zar’in” (tiada tumbuhan) menunjukkan bahwa lembah itu ganas dan tiada sumber kehidupan.
Kendati demikian Ibrahim AS tanpa tanya apalagi protes mengantar anaknya yang baru lahir bersama isteri tercinta ke tempat itu. Mereka berdua ditinggalkan dengan perbekalan seadanya.
Ternyata ujian itu belum selesai. Ujian terbesar justeru datang beberapa tahun kemudian. Di saat anaknya mencapai umur balig (12-13 tahun), Ibrahim diperintah untuk menyembelih anaknya sebagai pengorbanan kepada Tuhan.
Itu dikisahkan dalam Al-Quran: “Dan Ketua anaknya mencapai umur balig, dia berkata: wahai anakku, sesungguhnya Aku bermipi jika Aku memotong kamu. Lalu bagaimana pendapatmu?. Sang anak menjawab: Wahai ayahku tecinta lakukan apa yang telah diperintahkan kepadamu. Insya Allah niscaya engkau akan mendapatkan saya termasuk orang-orang yang bersabar”.
Ibrahim pun mulai berjalan dengan anaknya Ismail ke arah tempat pemotongan di Mina. Konon ibu Ismail (Hajar) tidak diberitahu ujian besar itu. Khawatirnya sebagai Ibu beliau sedih dan menolak perintah itu.
Dalam perjalanan Itulah Ibrahim mempersiapkan diri dengan penuh kematangan. Salah satunya singgah sebentar di sebuah lembah bernama Muzdalifah. Di sanalah beliau berdzikir menenangkan batin menghadapi ujian besar itu.
Keesokan harinya beliau melanjutkan perjalanan menuju Mina. Ibu Ismail (Hajar) yang tidak diberitahu itu rupanya menjadi target pertama syetan. Beliau diberitahu bahkan dirayu untuk membatalkan rencana Ibrahim itu. Beliau ternyata memilki keimanan dan tawakkal yang hebat. Rayuan dan godaan itu ditolak dengan keras.
Sang syetan kemudian berani mendekati Ibrahim. Dibujuknya agar membatalkan menyembelih anaknya yang tercinta dan satu-satunya itu.
Ibrahim yang sudah bulat dalam keyakinan itu tentu marah. Syetan pun dia usir (lempar). Itulah tempat pelemparan pertama yang dikenal dengan “Jumrah Ulaa”.
Syetan itu bersikukuh menggoda. Ibrahim yang sudah berjalan itu didekati lagi dengan godaan yang sama. Ibrahim pun merespon dengan tegas, bahkan keras (dilempar). Itulah jumrah wustho (pertengahan).
Rupanya syetan belum juga menyerah. Diikuti terus dengan rayuan dan Godaan yang sama. Tapi Ibrahim tidak bergeming dan tergoda sedikit pun. Malah kembali dilempar di tempat yang ketiga. Itulah yang kita kenal dengan Jumrah Aqabah.
Kesimpulannya adalah bahwa pertarungan antara kebatilan dan kebenaran itu sengit dan abadi. Karenanya menghadapi pertarungan itu diperlukan komitmen dan kesungguhan penuh.
Komitmen dan kesungguhan itu yang dalam ritual manasik haji tersimbolkan dengan mabit, baik di Muzdalifah maupun di Mina salama 2 atau 3 malam. Mabit Mina ini bahkan menjadi amalan terlama dalam prosesi amalan-amalan haji.
Pertanyaannya Apakah simbol perlawanan itu ada pada diri jamaah? Sehingga begitu bersamangat melempar Jumrah di Mina, tapi justeru tersenyum dan bersahabat dengan syetan di kampung masing-masing. Semoga tidak!
Imam Shamsi Ali*
Hidup manusia yang alami, suci dan mulia itu seringkali, bahkan menjadi sunnah (aturan) Allah bahwa dalam perjalanannya mengalami berbagai interupsi (gangguan, godaan, tantangan). Di sinilah manusia kemudian terbagi dua. Ada yang “Muhtadiin” (tetap berada di atas fitrah) dan ada yang “dhoolliin” (tergelincir dari kefitrahan).
Hal ini sekaligus mengingatkan kita pertarungan antara kebenaran (al-haq) dan kejahatan (al-batil) sejak awal penciptaan manusia. Adam yang diciptakan dengan karakter kemuliaan lebih itu oleh Allah Iblis diperintah untuk memuliakannya.
Perintah memuliakan itu tersimbolkan oleh perintah Allah kepada Iblis untuk bersujud kepada Adam. “Sujuud ikraam” (pemuliaan) atau “sujuud ihtiram” (penghormatan). Bukan “sujuud ta’abbud” (sujud penyembahan).
Dalam candaan saya biasa mengatakan bahwa sungkeman orang Jawa kepada orang tua itu adalah implementasi perintah Al-Quran. Di mana sang anak bersimpuh menunduk seolah sujud kepada orang tuanya. Menghormati yang lebih tua dengan cara itu secara substansi nampaknya sangat Qurani.
Kemuliaan dan kehormatan yang diberikan kepada Adam itu ternyata menjadikan Iblis tumbang. Tumbang ketaatannya yang selama ini setingkat ketaatan malaikat. Iblis dengan keangkuhannya menolak perintah Tuhan untuk bersujud menghormati Adam AS.
Akibatnya, Iblis terusir dari rahmat Allah. Terusir keluar dari Syurga yang selama ini didiaminya dengan tenang. Iblis menjadi makhluk yang “rajiim” (terlaknat).
Kejatuhan Iblis itu menjadikannya semakin menjadi-jadi dalam dendam, irihati dan dengki kepada Adam AS. Maka sejak itu pula Iblis bertekad untuk menggoda dan menyesatkan anak cucu Adam.
Singkat cerita, sejak itu pertarungan sengit dan abadi terjadi antara dua makhluk Tuhan itu. Bahkan Adam sendiri belakangan sempat tergoda oleh rayuan Iblis untuk memakan “buah terlarang” (khuld) itu. Untung “rahmah” Allah segera menyelimuti beliau dan diampuni oleh Allah SWT.
Pertarungan demi pertarungan, godaan demi godaan dilancarkan oleh Iblis ke anak cucu Adam AS. Tidak sedikit di antara anak cucu Adam dan Hawa yang terjatuh. Kegigihannya juga tidak mengenal lelah.
Hingga masa Ibrahim AS di kemudian hari tiba. Ketika Allah mengujinya dengan ujian yang luar biasa. Barangkali dapat dikatakan sebuah ujian yang secara ukuran manusia “unbearable” (tidak mampu dilakukan). Setelah bertahun-tahun menungu anak, Allah mengaruniainya dengan seorang putra.
Ujian awal Allah memerintahkanya membawa anak itu ke sebuah lembah yang tiada tumbuh-tumbuhan (bi waadin ghaer zar’in inda baetikal muharram”. Lembah itulah yang saat ini dikenal dengan Mekah, yang dalamnya ada Rumah Tua (al-baetul ‘atiiq) yang menjadi kiblat penyembahan orang-orang yang beriman.
Saya katakan ujian karena saat itu lembah itu hanya tempat yang hampa, dikelilingi oleh gunung-gunung bebatuan yang ganas. Kata “ghaer zar’in” (tiada tumbuhan) menunjukkan bahwa lembah itu ganas dan tiada sumber kehidupan.
Kendati demikian Ibrahim AS tanpa tanya apalagi protes mengantar anaknya yang baru lahir bersama isteri tercinta ke tempat itu. Mereka berdua ditinggalkan dengan perbekalan seadanya.
Ternyata ujian itu belum selesai. Ujian terbesar justeru datang beberapa tahun kemudian. Di saat anaknya mencapai umur balig (12-13 tahun), Ibrahim diperintah untuk menyembelih anaknya sebagai pengorbanan kepada Tuhan.
Itu dikisahkan dalam Al-Quran: “Dan Ketua anaknya mencapai umur balig, dia berkata: wahai anakku, sesungguhnya Aku bermipi jika Aku memotong kamu. Lalu bagaimana pendapatmu?. Sang anak menjawab: Wahai ayahku tecinta lakukan apa yang telah diperintahkan kepadamu. Insya Allah niscaya engkau akan mendapatkan saya termasuk orang-orang yang bersabar”.
Ibrahim pun mulai berjalan dengan anaknya Ismail ke arah tempat pemotongan di Mina. Konon ibu Ismail (Hajar) tidak diberitahu ujian besar itu. Khawatirnya sebagai Ibu beliau sedih dan menolak perintah itu.
Dalam perjalanan Itulah Ibrahim mempersiapkan diri dengan penuh kematangan. Salah satunya singgah sebentar di sebuah lembah bernama Muzdalifah. Di sanalah beliau berdzikir menenangkan batin menghadapi ujian besar itu.
Keesokan harinya beliau melanjutkan perjalanan menuju Mina. Ibu Ismail (Hajar) yang tidak diberitahu itu rupanya menjadi target pertama syetan. Beliau diberitahu bahkan dirayu untuk membatalkan rencana Ibrahim itu. Beliau ternyata memilki keimanan dan tawakkal yang hebat. Rayuan dan godaan itu ditolak dengan keras.
Sang syetan kemudian berani mendekati Ibrahim. Dibujuknya agar membatalkan menyembelih anaknya yang tercinta dan satu-satunya itu.
Ibrahim yang sudah bulat dalam keyakinan itu tentu marah. Syetan pun dia usir (lempar). Itulah tempat pelemparan pertama yang dikenal dengan “Jumrah Ulaa”.
Syetan itu bersikukuh menggoda. Ibrahim yang sudah berjalan itu didekati lagi dengan godaan yang sama. Ibrahim pun merespon dengan tegas, bahkan keras (dilempar). Itulah jumrah wustho (pertengahan).
Rupanya syetan belum juga menyerah. Diikuti terus dengan rayuan dan Godaan yang sama. Tapi Ibrahim tidak bergeming dan tergoda sedikit pun. Malah kembali dilempar di tempat yang ketiga. Itulah yang kita kenal dengan Jumrah Aqabah.
Kesimpulannya adalah bahwa pertarungan antara kebatilan dan kebenaran itu sengit dan abadi. Karenanya menghadapi pertarungan itu diperlukan komitmen dan kesungguhan penuh.
Komitmen dan kesungguhan itu yang dalam ritual manasik haji tersimbolkan dengan mabit, baik di Muzdalifah maupun di Mina salama 2 atau 3 malam. Mabit Mina ini bahkan menjadi amalan terlama dalam prosesi amalan-amalan haji.
Pertanyaannya Apakah simbol perlawanan itu ada pada diri jamaah? Sehingga begitu bersamangat melempar Jumrah di Mina, tapi justeru tersenyum dan bersahabat dengan syetan di kampung masing-masing. Semoga tidak!
Hajj Journey- 17
Imam Shamsi Ali*
Perjalanan fitrah itu penuh dengan rintangan. Sejak awal penciptaannya manusia ditantang (challenged) oleh Iblis, bahwa dia (laknatullah) itu akan bersungguh-sungguh menggelincirkannya.
Maka sekali lagi, Sungguh menjadi sebuah tuntutan bagi manusia untuk membangun kesadaran dan komitmen yang sama untuk melakukan perlawanan dan peperangan kepada Iblis dan bala tentaranya. Semua Itulah yang tersimbolkan dalam prosesi Muzdalifah dan Mina.
Pada akhirnya setelah semua prosesi rukun, Ihram, Tawaf, Sa’i, Wukuf, Tahallul selesai dan semua yang diwajibkan juga telah dilaksanakan dengan baik, Ibadah haji dengan sendirinya telah tuntas.
Perjalanan suci nan jauh itu telah melewati semua fase dan lika likunya. Dalam perjalanan itu terjadi hiruk pikuk, sengaja atau tidak, semuanya akan menemukan tantangannya sebagai cobaan bagi dirinya.
Kini tinggal satu lagi prosesi ritual ibadah yang harusnya dilakukan oleh jamaah haji. Yaitu Tawaf Wada’ atau Tawaf Selamat tinggal untuk kota haram atau tanah suci. Hampir menjadi konsensus para ulama bahwa Tawaf ini menjadi salah satu wajib haji.
Perjalanan ini ada awal dan pasti ada akhir. Diawali dengan Ihram dan kini diakhiri dengan Tawaf Wada’. Diawali dengan komtimen kesucian, kembali ke asal yang tidak terdetraksi (terganggu) oleh hiruk pikuk dunia sementara. Kini berakhir dengan Tawaf sekitar Ka’bah.
Sebagaimana pernah disampaikan bahwa Tawaf adalah simbol perjalanan hidup dunia yang secara terus menerus bergerak. Pergerakan yang mengalami perputaran. Simbol kehidupan yang konstan mengalami “perubahan”.
Hidup masih hidup selama ada pergerakan dan perubahan. Seketika perubahan dan pergerakan terhenti maka terhenti pula kehidupan itu. Karenanya salah satu tantangan hidup manusia adalah selalu siap mengantisipasi pergerakan dan perubahan itu.
Manusia dalam menyikapi perubahan ini hanya di dua kemungkinan. Menjadi bagian dari perubahan itu, bahkan menjadi agen perubahan. Atau menjadi objek dan korban perubahan. Wajar Al-Quran mengingat: “Sungguh Allah tidak merubah nasib sebuah kaum/bangsa hingga bangsa/kaum itu melakukan perubahan pada diri mereka sendiri”.
Dalam dunia global yang ditandai oleh kecepatan yang “unimaginable” dan pada tataran tertentu “unbearable” (tidak diperkirakan dan tidak terkendali) ini perubahan itu juga demikian cepat dan kerap tidak terkendali.
Karenanya haji mengajarkan bahwa perubahan demi perubahan itu harus diantisipasi tiada henti. Sehingga pada akhirnya nanti perubahan dan pergerakan itu tetap berada di sekitar Ka’bah.
Tawaf Wada’ sesungguhnya menyimbolkan urgensi menusia untuk selalu membangun kesadaran dan komtimen pada di ujung perjalanan suci (kehidupan) ini akan diakhiri dengan kedekatan dengan Baitullah. Tidak jauh dari Rumah Allah, tempat pengabdian sepanjang hidup.
Tawaf Wada’ adalah simbolisasi respon itu kepada peringatan Allah: “janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim”. Bahwa di saat akan meninggalkan Tanah Haram, dipastikan berakhir dengan Tawaf di sekitar Ka’bah.
Setuasi seperti Itulah impian setiap Mukmin. Bahwa pada akhirnya ketika akan meninggalkan Baitullah (bumi), tempat mereka memusatkan pengabdian mereka selama ini, mereka tetap berada di sekitar kesucian (Tuhan dan kebenaran).
Meninggalkan dunia (mati) dalam keadaan demiikian Itulah yang disebut “husnul Khatimah”. Dan Itulah impian setiap insan Mukmin.
“Allahumma urzuqna husnal khatimah”.
Dengan ini saya juga akhiri catatan haji ini dengan “husnul khatimah”. Semoga para hujjaj dikaruniai haji mabrur. Yang Insya Allah balasannya tidak lain kecuali syurga. Amin!
Imam Shamsi Ali*
Perjalanan fitrah itu penuh dengan rintangan. Sejak awal penciptaannya manusia ditantang (challenged) oleh Iblis, bahwa dia (laknatullah) itu akan bersungguh-sungguh menggelincirkannya.
Maka sekali lagi, Sungguh menjadi sebuah tuntutan bagi manusia untuk membangun kesadaran dan komitmen yang sama untuk melakukan perlawanan dan peperangan kepada Iblis dan bala tentaranya. Semua Itulah yang tersimbolkan dalam prosesi Muzdalifah dan Mina.
Pada akhirnya setelah semua prosesi rukun, Ihram, Tawaf, Sa’i, Wukuf, Tahallul selesai dan semua yang diwajibkan juga telah dilaksanakan dengan baik, Ibadah haji dengan sendirinya telah tuntas.
Perjalanan suci nan jauh itu telah melewati semua fase dan lika likunya. Dalam perjalanan itu terjadi hiruk pikuk, sengaja atau tidak, semuanya akan menemukan tantangannya sebagai cobaan bagi dirinya.
Kini tinggal satu lagi prosesi ritual ibadah yang harusnya dilakukan oleh jamaah haji. Yaitu Tawaf Wada’ atau Tawaf Selamat tinggal untuk kota haram atau tanah suci. Hampir menjadi konsensus para ulama bahwa Tawaf ini menjadi salah satu wajib haji.
Perjalanan ini ada awal dan pasti ada akhir. Diawali dengan Ihram dan kini diakhiri dengan Tawaf Wada’. Diawali dengan komtimen kesucian, kembali ke asal yang tidak terdetraksi (terganggu) oleh hiruk pikuk dunia sementara. Kini berakhir dengan Tawaf sekitar Ka’bah.
Sebagaimana pernah disampaikan bahwa Tawaf adalah simbol perjalanan hidup dunia yang secara terus menerus bergerak. Pergerakan yang mengalami perputaran. Simbol kehidupan yang konstan mengalami “perubahan”.
Hidup masih hidup selama ada pergerakan dan perubahan. Seketika perubahan dan pergerakan terhenti maka terhenti pula kehidupan itu. Karenanya salah satu tantangan hidup manusia adalah selalu siap mengantisipasi pergerakan dan perubahan itu.
Manusia dalam menyikapi perubahan ini hanya di dua kemungkinan. Menjadi bagian dari perubahan itu, bahkan menjadi agen perubahan. Atau menjadi objek dan korban perubahan. Wajar Al-Quran mengingat: “Sungguh Allah tidak merubah nasib sebuah kaum/bangsa hingga bangsa/kaum itu melakukan perubahan pada diri mereka sendiri”.
Dalam dunia global yang ditandai oleh kecepatan yang “unimaginable” dan pada tataran tertentu “unbearable” (tidak diperkirakan dan tidak terkendali) ini perubahan itu juga demikian cepat dan kerap tidak terkendali.
Karenanya haji mengajarkan bahwa perubahan demi perubahan itu harus diantisipasi tiada henti. Sehingga pada akhirnya nanti perubahan dan pergerakan itu tetap berada di sekitar Ka’bah.
Tawaf Wada’ sesungguhnya menyimbolkan urgensi menusia untuk selalu membangun kesadaran dan komtimen pada di ujung perjalanan suci (kehidupan) ini akan diakhiri dengan kedekatan dengan Baitullah. Tidak jauh dari Rumah Allah, tempat pengabdian sepanjang hidup.
Tawaf Wada’ adalah simbolisasi respon itu kepada peringatan Allah: “janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim”. Bahwa di saat akan meninggalkan Tanah Haram, dipastikan berakhir dengan Tawaf di sekitar Ka’bah.
Setuasi seperti Itulah impian setiap Mukmin. Bahwa pada akhirnya ketika akan meninggalkan Baitullah (bumi), tempat mereka memusatkan pengabdian mereka selama ini, mereka tetap berada di sekitar kesucian (Tuhan dan kebenaran).
Meninggalkan dunia (mati) dalam keadaan demiikian Itulah yang disebut “husnul Khatimah”. Dan Itulah impian setiap insan Mukmin.
“Allahumma urzuqna husnal khatimah”.
Dengan ini saya juga akhiri catatan haji ini dengan “husnul khatimah”. Semoga para hujjaj dikaruniai haji mabrur. Yang Insya Allah balasannya tidak lain kecuali syurga. Amin!
0 Komentar