Catatan Seputar Diskusi Jum’at Malam (14/09)

Oleh: M. Abdil Bar
Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Suka

Sebelumnya, dalam tulisan ini saya tidak akan membahas mengenai berbagai pendapat yang keluar pada diskusi kemaren berkaitan dengan tema “Perlukah Ulama Berpolitik Praktis”, karena akan segera hadir menyusul artikel ini, sebuah catatan khusus yang memotret mengenai hal tersebut. Dalam tulisan ini, saya akan mengulas sisi lain yang menarik dari diskusi tersebut.
Diskusi jumat malam kemaren, yang mengambil tema “Perlukah Ulama Berpoiltik Praktis”, menarik perhatian dan meninggalkan catatan tersendiri. Menarik bukan karena temanya yang –kebetulan - relevan dengan kondisi saat ini, dimana banyak ulama yang “turun gunung” dan mempengaruhi iklim perpolitikan negeri pada tahun politik ini. Juga menarik bukan karena suasana jalannya diskusi: berjalan dengan adem-ayem, kondusif atau antusias; atau ramai “kayak pasar” atau “piring pecah” karena dalam satu ruangan.
Menarik bukan pula karena berbagai macam argumentasi, pendapat, masukan, tambahan dan silang-saling kritik yang dilontarkan oleh para audien. Pula, bukan menarik karena penyampaian, gaya bahasa atau penguasaan materi diskusi oleh teman-teman.
Lalu apa yang membuat diskusi jum’at malam tersebut menarik? Kok, dari tadi yang disampaikan “bukan menarik karena”- “bukan menarik karena” itu-itu saja. Terus apa, dimana, segi mana dan bagian apa dari diskusi tersebut yang menarik? Santai dulu mas bro. Sabar, jangan ngegas dan jangan pakek emosi membacanya. Membaca itu dinikmati prosesnya, agar pesan dari tulisan itu tersampaikan dengan baik dan kita paham. Bukan asal baca yang penting selesai, ngerti atau tidak itu belakangang. Paham ora son?
Oke. Saatnya sekarang saya akan kasih tahu anda semua apa yang menarik dari diskusi jum’at malam kemaren ba’da Isya’ berjamaah itu. Hal menarik dari diskusi kemaren adalah, karena kegiatan tersebut merupakan kegiatan perdana, awal dan sekaligus yang pertama pada awal kalender tahun ajaran baru, setelah selama beberapa waktu vakum sebelumnya. Mungkin, bagi anda, diskusi perdana kemaren tidak –ada yang- menarik, atau bahkan tidak memiliki makna sama sekali. Tetapi, tidak bagi saya.
Diskusi kemaren memiliki makna tersendiri. Terdapat semangat di dalamnya. Karena pada dasarnya, -ber- diskusi (musyawah atau sharing pengatahuan) merupakan salah satu ciri khas yang melekat pada para pencari ilmu, apalagi pada seorang yang menyandang status maha santri, yakni santri yang mondok sambil belajar di jami’ah, dibandingkan dengan yang hanya kuliah saja.
Maha santri -dipandang- lebih luas pemahaman agamanya dan juga tidak ketinggalan dalam penguasaan pengetahuan umumnya dari mahasiswa biasa. Seharusnya, asumsi seperti itu menjadikan maha santri untuk sering atau ikut berdiskusi, musyawarah atau betukar pikiran, bukan malah meninggalkannya, sebagaimana yang terjadi pada tahun kemaren. Kegiatan semacam diskusi vakum tidak berjalan, hidup segan mati tak mau. Padahal diskusi itu atau semacamnya gampang membuat kita untuk mengisi dan menambah wawasan pengetahuan kita, dibandingkan jika kita belajar sendiri atau kuliah mendengarkan dosen ceramah di kelas. Apalagi kalau dosen dan mata kuliah yang diampunya sama-sama tidak kita suka, maka saya yakin, jangankan ilmunya yang sulit masuk, mau ikut pelajarannya saja malas.
Nah, budaya diskusi perlu untuk disemarakkan kembali dikalangan kita yang sempat terhenti kemaren. Diskusi adalah identitas kita sebagai santri, dan juga mahasiswa yang dikenal dengan sikap kritisnya serta berani dalam mengungkapkan sebuah pendapat. Diskusi adalah tempat kita belajar untuk berani menyampaikan pendapat, menerima dan menghargai pendapat orang lain yang berbeda serta mengetahui ukuran atau kemampuan seberapa tinggi keilmuan atau pemahaman kita.
Diskusi atau latihan olah pikir kemaren –dan nanti seterusnya- bagi maha santri Al-Ashfa –terutama maha santri yang baru- merupakan tempat latihan kecil atau warming up mengeluarkan sikap kritis terhadap persoalan atau isu yang terjadi, sebelum terjun ke dunia  kampus yang penuh persaingan, luas, bebas, liar dan keras.
Oleh karena itu, budaya olah pikir di pondok ini jangan sampai terputus kembali seperti kemaren. Budaya diskusi dan literasi harus dilestarikan keberadaannya, dijaga keeksistensiannya dan dihidupkan selalu, mengingat ia memiliki peran sentral dalam memajukan ilmu pengetahuan dalam sejarah manusia.
Dan ucapan terima kasih saya ucapkan bagi pengurus dan semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan diskusi kemaren, yang telah menghidupkan kembali kegiatan rutin diskusi Pondok Mahasiswa Al-Ashfa dan semoga konsisten ke depannya. Karena kegiatan kemaren tersebut masih perdana, maka maklum jika terdapat beberapa kekurangan dalam pelaksanaanya, seperti konsep atau format diskusi yang kurang jelas, yang diharapkan pada diskusi selanjutnya dipersipakan dengan baik.

0 Komentar