Jika kita perhatikan pendapat para ulama dan cendekia, tentu kita akan menemukan berbagai definisi santri. Mulai dari santri adalah predikat untuk seseorang yang patuh pada dawuh kiai; yang melek bacayang beriman, berislam, dan berihsan; sampai, definisi santri sebagai duta perdamaian. Dari ragam definisi itu, kita temukan benang merah bahwa santri adalah manifestasi dari seseorang yang mendalami ilmu agama Islam.

Tak pantas bila, sebagai seorang yang mendalami agama Islam, acuh terhadap keadaan kritis di sekitarnya, seperti masa pandemi saat ini. Mengapa? karena Islam mengajarkan untuk menjaga keberlangsungan hidup seluruh makhluk, manusia yang paling utama, sebab ia menjadi tokoh mandataris untuk merawat bumi. Menjaga keberlangsungan hidup inilah yang disebut dengan penerapan penjagaan nyawa, yang merupakan salah satu tujuan ajaran Islam (maqashidus shari’ah).


Baca juga: Islam Menyerukan Keadilan Sosial, Begini Penjelasan Para Mufassir


Kewajiban Menjaga Nyawa dalam Al-Quran

Ada beberapa ayat yang menunjukkan penjagaan nyawa. Pertama, surat Al-Baqarah ayat 179:

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa”

Menurut para mufassir, ayat ini mengandung makna penjagaan keberlangsungan hidup manusia. Dalam Tafsir Al-Quranul ‘Adzim, Ibnu Katsir berpendapat, bahwa pensyariatan qishash (hukuman mati bagi pelaku pembunuhan) menyimpan hikmah agung berupa lestari dan terjaganya nyawa. Karena, qishash menciptakan efek jera, sehingga tindakan pembunuhan akan berkurang.

Imam Al-Baghawi dalam Tafsirnya, sepakat dengan Ibnu Katsir. Perbedaannya hanya terletak pada pengistilahan hikmah. Ia menggunakan diksi maqashid lil qatli bagi pemberlakuan hukum qishash ini.

Tetapi, secara substansi mereka sama-sama meyakini kewajiban untuk menjaga nyawa. Tentu, tidak hanya dua mufassir tersebut. Penjagaan nyawa juga menjadi pilar kedua dari lima maqashidus syari’ah rumusan Al-Juwaini dan muridnya, Al-Ghazali.

Ayat lain yang juga menunjukkan perintah untuk menjaga nyawa ialah surat Al-Baqarah ayat 195:

وَأَنفِقُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا تُلْقُوا۟ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى ٱلتَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوٓا۟ ۛ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”

Ayat ini merespons sikap fatalis kaum Ansar. Dalam Asbabun Nuzul, Al-Wahidi mencantumkan hadis riwayat Abu Jabirah bin Dhahhak, yang menginformasikan bahwa Kaum Ansar sering bersedekah. Tetapi, pada dirinya sendiri makan seadanya. Bahkan, saat ditimpa pagebluk, mereka pasrah saja. Kemudian ayat ini turun, melarang kaum Ansar untuk bersikap fatalis.


Baca juga: Tafsir Surat Ali Imran Ayat 103: Dalil Sila Ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia


Frasa wa laa tulqu bi aydikum ilat tahlukah menunjukkan larangan menjatuhkan nyawa pada jurang kebinasaan. Baik nyawa diri sendiri atau orang lain, sebagaimana pemaknaan Ibnu ‘Asyur dalam at-Tahrir wat-Tanwir:

ومعنى النهي عن الإلتقاء النفس باليد إلى التهكة النهي عن التسبب في إتلاف النفس أو القوم عن تحقق الهلاك بدون أن يجتنى منه المقصود

“Makna larangan menjatuhkan diri pada kerusakan ialah larangan untuk berbuat hal-hal yang menjadi lantaran hilangnya nyawa (diri sendiri) atau segolongan orang, sehingga menyebabkan terjadinya kebinasaan (kematian). Larangan ini dipatuhi tanpa mengabaikan maksud (tujuan ayat, yang dalam konteks ini ialah menjaga nyawa)”

Selain kemashalahatan umum, Ibnu ‘Asyur juga menekankan larangan melakukan tindakan yang ‘berpotensi’ menyebabkan hilangnya nyawa. Bila dihadapkan dengan situasi saat pandemi, maka penjelasan ini cukup dibuat pijakan atas larangan melakukan hal yang berpotensi memperburuk keadaan dan menyebabkan nyawa semakin banyak berjatuhan.


Baca juga: KH. Ahmad Shiddiq dan Penjelasan Tentang Tafsir Ukhuwah


Santri Harus Ambil Peran untuk Menjaga Nyawa, Apalagi Di Saat Krisis

Bagi santri, wajib untuk berperan menjaga nyawa. Setidak-tidaknya atas dirinya sendiri. Karena, seperti yang telah dijelaskan, Islam mendudukkan penjagaan nyawa pada tujuan pensyariatan Islam itu sendiri, atau dalam bahasa al-Ghazali, hifzun nafs. Terlebih di masa krisis kesehatan saat ini, yang sudah mencapai taraf darurat.

Kewajiban penjagaan nyawa sekarang bisa dibilang sudah masuk skala prioritas. Karena, pandemi menyebabkan krisis kesehatan di hampir seluruh penjuru negeri. Indonesia pun -melansir detik.com (15/10)- menjadi negara dengan kasus positif covid-19 tertinggi di Asia Tenggara. 

Santri tentu juga diharapkan perhatiannya pada kondisi ini dengan menunjukkan sikap peduli terhadap keberlangsungan hidup masyarakat Indonesia. Selain juga, aktif menyuarakan pentingnya kepatuhan pada protokol kesehatan. Semua itu demi menunaikan kewajiban menjaga jawa yang sekarang sedang dinomorsatukan.

Santri sehat, Indonesia kuat!

Wallahu a’lam[]

Sumber: https://tafsiralquran.id/santri-dan-prioritas-kewajiban-menjaga-nyawa/

0 Komentar