K.H Ahmad Sanusi: Sang Mufasir Asal Bumi Pasundan
K.H Ahmad Sanusi adalah seorang putera Sukabumi yang pernah berkiprah di kancah nasional pada tahun 1920 sampai 1950. Ia merupakan ulama sekaligus pejuang yang turut ikut andil dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia bersama BPUPKI. Berkat perjuangan tersebut, ia dianugerahi Bintang Maha Putera oleh presiden Soekarno Utama pada tahun 1992 dan penghargaan Bintang Maha Putera Adipradana oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2009 (Kiyai Ahmad Sanusi dan Karya-Karyanya: Khasanah Literasi Ilmu-Ilmu Ajaran Islam di Nusantara: 5).
Ahmad Sanusi dilahirkan pada tanggal 18 September 1888 M di desa Cantayan kecamatan Sukabumi, Jawa barat. Desa ini adalah sebuah perkampungan kecil yang terletak di antara dua gunung, yakni gunung Sunda dan gunung Walat. Letak geografis tersebut membuat akses jalan menjadi sulit. Diceritakan bahwa hingga tahun 1970-an, jika seseorang ingin berkunjung ke sana maka ia harus turun dari kendaraan yang melintasi jalur Cibadak-Sukabumi persis di ujung jembatan Cimahi.
Baca Juga: Mufasir-Mufasir Indonesia: Biografi Syekh Nawawi Al-Bantani
Menurut penuturan masyarakat sekitar Cantayan, Ahmad Sanusi adalah keturunan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan, seorang ulama yang menyebarkan Islam di Tasikmalaya. Beliau pindah ke Sukabumi pasca terusir dari Tasikmalaya akibat pertentangan dari pemerintahan Belanda. Setelah menetap di desa Cantayan, Syekh Abdul Muhyi Pamijahan kemudian menjadi ajengan (tokoh agama) di sana dan mendirikan sebuah pesantren yang bernama Pesantren Cantayan (K.H Ahmad Sanusi: Pemikiran dan Perjuangannya dalam Pergolakan Nasional: 223).
Perjalanan Intelektual
Di pesantren Cantayan inilah Sanusi kecil dididik dan dibesarkan oleh orang tuanya, KH. Abdurrohim. Di sana ia mempelajari berbagai cabang ilmu keislaman dan kepesantrean bersama saudara-saudaranya di bawah bimbingan langsung K.H. Abdurrohim. Proses pembelajaran ini berlangsung selama kurang lebih 16 tahun. Berkat privilege tersebut, K.H Ahmad Sanusi belia menjadi sosok anak yang taat dalam beragama.
Kemudian pada usia 17 tahun, Sanusi muda melanjutkan pendidikannya ke pesantren-pesantren lain selama 4 tahun, yaitu: Pesantren Salajambe Cisaat (6 bulan), Pesantren Sukamantri Cisaat (2 bulan), Pesantren Sukaraja (6 bulan), Pesantren Cilaku Cianjur (1 tahun), Pesantren Ciajag Cianjur (5 bulan), Pesantren Gentur Warung Kondang Cianjur (6 bulan), Pesantren Buniasih (3 bulan), Pesantren Keresek Blubur Limbangan (7 bulan), Pesantren Sumursari (4 bulan), dan Pesantren Gudang Tasikmalaya (1 tahun).
Pada tahun 1909, yakni beberapa bulan pasca pernikahannya, Sanusi yang baru menginjak usia 21 tahun melaksanakan Ibadah haji ke Mekah. Setelah melaksanakan haji, beliau tidak langsung pulang dan bermukim di sana selama 7 tahun. Ini ia lakukan dengan tujuan menambah dan memperdalam ilmu agama serta pengetahuan lainnya. Tindakan K.H Ahmad Sanusi merupakan hal lumrah pada masa itu, sebab prosesi haji memakan waktu yang cukup panjang. Untuk mengisi waktu luang biasanya masyarakat Indonesia di Mekah memperdalam ilmu agama.
Pada akhir tahun 1915, Ahmad Sanusi kembali ke tanah air Indonesia. Pada mulanya, ia membantu mengajar di Pesantren ayahnya dahulu, namun setelah beberapa waktu ia kemudian mendirikan sebuah pesantren di kampung Genteng, Desa Lembur Sawah, Cibadak Sukabumi yang dinamakan Pesantren Babakan Sirna. Santri pertama pesantren ini adalah santri-santri ayahnya yang ikut membuka pemukiman baru.
Baca Juga: Mufasir-Mufasir Indonesia: Biografi Sholeh Darat As-Samarani
Selain mengurus pesantren, K.H Ahmad Sanusi juga sering memberikan ceramah dari desa ke desa di sekitar jawa barat. Banyak persoalan-persoalan sosial-keagamaan di masyarakat yang mampu ia selesaikan dengan bijaksana, termasuk permasalahan terkait kenegaraan. Ia seringkali menekankan kepada masyarakat tentang pentingnya kecintaan terhadap agama, negara dan bangsa agar mereka sadar dan mampu bergerak demi kemerdekaan Indonesia.
Dengan penuh kecintaan dan harapan, K.H Ahmad Sanusi tanpa lelah mendorong masyarakat supaya sadar akan pentingnya sebuah negara merdeka demi kebebasan penduduk untuk melaksanakan perintah agama (syariat). Dengan kemerdekaan juga, bangsa dan negara dapat dibangun sesuai dengan kehendak masyarakat itu sendiri. Karena tindakan tersebut, Ia ditangkap oleh pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1927 karena dianggap dapat menimbulkan pemberontakan dan baru dibebaskan ketika Belanda dikalahkan Jepang.
Selain dikenal sebagai ulama yang aktif berdakwah, K.H Ahmad Sanusi juga merupakan ulama yang produktif menulis. Setidaknya ada 125 judul kitab hasil tangan emasnya yang terdiri dari 101 judul kitab berbahasa Sunda dan 24. Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama Republik Indonesia 1986 mencatat bahwa selama hidupnya K.H. Ahmad Sanusi telah menulis 480 buah judul kitab. (K.H Ahmad Sanusi: Pemikiran dan Perjuangannya dalam Pergolakan Nasional: 20-21).
Salah satu bidang ilmu yang ditekuni kiai yang akrab disapa Ajengan Cantayan ini adalah tafsir. Dalam bidang ini beliau meninggalkan sebuah magnum opus yang berjudul Rawdat al-‘Irfan Fi Ma’rifat al-Qur’an. Tafsir ini ditulis menggunakan aksara Pegon dengan bahasa Sunda lengkap 30 juz Al-Qur’an sebanyak 1255 halaman. Juz 1 hingga juz 15 dan juz 29 serta 30 ditulis langsung oleh beliau sebelum wafat (1950 M), sedangkan sisanya ditulis oleh putra-putranya, yakni Ahmad Zarkasih (juz 16-18, juz 26-29 ) dan Badri Sanusi (juz 19-25).
Dalam menulis Rawdat al-‘Irfan Fi Ma’rifat al-Qur’an, K.H Ahmad Sanusi banyak menggunakan ra’yu yang berlandaskan Al-Qur’an dan hadis. Secara umum, penafsiran beliau ini dapat dikategorikan sebagai tafsir ijmali, karena pembahasan di dalamnya bersifat umum, tanpa uraian apalagi penjelasan yang panjang dan luas mengenai ayat. Selain itu, ada aspek lokalitas tafsir yang menarik untuk dilihat, di mana beliau melakukan vernakularisasi makna ayat Al-Qur’an agar mudah dipahami pembaca masyarakat Sunda. Wallahu a’lam.
Sumber: https://tafsiralquran.id/k-h-ahmad-sanusi-sang-mufasir-asal-bumi-pasundan/
0 Komentar