Mengenal Syaikh KH. Raden Munir Abdurrahman


Khadrotus Syaikh KH. Raden Munir Abdurrahman adalah sosok ulama yang penuh dengan kesahajaan dan kesederhanaan hidup. Ini tergambar ketika pada pelaksanaan Haflah di Ponpes Nadwatul lshaqiyah di desa Jambu Burneh Bangkalan. Syi'ir fenomenal yang berjudul Qod Hana terlantun. Bahkan tidak jarang para alumni sepuh meneteskan airmata seakan Kiai Munir hadir di tengah-tengah hadirin yang berdiri.

Murid Syaikhona Kholil Al Bangkalani Pada zaman pra kemerdekaan, di sebuah desa kecil bernama Jambu yang terletak di Kabupaten Bangkalan, Kiai Abdurahman dan istri merasakan kebahagiaan yang tak terhingga ketika bayi mungil yang kemudian di beri nama Munir lahir, tepatnya pada hari Jumat 27 Ramadhan 1307 H yang bertepatan dengan 19 Agustus 1891 M. Semua keluarga Kiai Abdurahman turut bersuka cita di dalem beliau yang terletak di samping Masjid jami' desa setempat.
Di masa yang serba terbatas bukan berarti membuat Kiai Munir Abdurrahman kecil berdiam diri, bahkan ia lebih menonjol dari anak seusianya dalam keilmuannya. Ketika berusia 6 tahun, beliau sudah mulai mengaji pada sang ayahanda, Syaikh Abdurahman Malik. Kehausan akan ilmu semakin tampak ketika sudah dalam usia 9 tahun, Kiai Munir Abdurrahman sudah meninggalkan kelembutan kasih sayang orang tua untuk nyantri pada Syaikhona Muhammad Kholil Al Bangkalani selama Empat tahun. Yakni, hingga pada pada tahun 1321 H/1905 M. Remaja yang Haus Ilmu Kehausan beliau dalam mencari ilmu seakan tak pernah berhenti, himmah yang tertancap di sanubari beliau begitu menggebu-gebu dengan tak jenuh terus mengaji pada Ulama-ulama besar di tanah Madura. Puncaknya ketika Kiai Munir Abdurrahman memulai pengembaraan panjang dengan berhijroh ke tanah Hijaz Mekah untuk mengais samudra ilmu. Padahal pada saat itu usia Kiai Munir masih relatif sangat muda baru 14 tahun. Selama Dua tahun di Mekah, Kiai Munir Abdurrahman menghabiskan keseharian beliau mengaji pada para ulama-ulama yang mengajar di emperan Masjidil Haram yang menjadi tempat paling favorit ketika saat itu untuk para pelajar yang haus akan ilmu Allah SWT. Kiai Munir juga mengaji kepada pamannya, Syaikh Abdul Karim Muhyidin. Sedatangnya dari Mekah, beliau tidak menyia-nyiakan waktu dan nyantri yang kedua kalinya pada Syaikhona Kholil selama 3 tahun. Sesudah mondok beliau pun kembali ke tanah suci Mekah dan menetap di tanah Hijaz Mekah selama 12 tahun. Kiai Abdurahman Hasan yang termasuk cucu dari Kiai Munir dalam kitab ringkas berjudul Tarjamatus Syaikh Munir Abdurahman Malik menceritakan bahwa, Kiai Munir di Mekah mengaji pada para Ulama-ulama masyhur Masjidil Haram. Seperti Syaikh Ahmad Rohn, Syaikh Hamdan At Tunisy, Syaikh Sa'id Al Yamani (yang termasuk salah satu Mufti Syafi'iyah di Mekah pada saat itu), juga pada Syaikh jamal Malik, dan para Aimmatul Ulama Mekah Al Harom dan Madinah Al Munawaroh. Menyebarkan Ilmu di tanah air Setelah belasan tahun menimba ilmu di Mekah, beliau membantu sang ayahanda menyebarkan ilmu Allah SWT. di Madura, khsusnya di Bangkalan. Kiai Munir baru mendirikan Pesantren ketika ayah beliau wafat di Harot Quban Mekah. Yang menarik, dalam membina santri beliau tidak sendirian, karena segenap keluarga turut membantu dalam mengembangkan pesantren. Seperti Syaikh Mukhtar Utsman dan Syaikh Subki. Prinsip dan semboyan beliau dan keluarga adalah 
:بالاتحاد ينال المراد“
Dengan bersatu, apa yang diharapkan akan tercapai”

Pesantren didikan Kiai Munir itulah yang menjadi salah satu pesantren berpengaruh di bangkalan setelah Ponpes Syaikhona Kholil pada masa itu. Bahkan, menurut cerita dari keluarga, Soekarno sebelum menjadi Presiden, pernah ngaji kepada beliau setelah mereka bertemu di konferensi Ulama se Jawa yang diadakan di Jakarta. Pujangga Pulau Seribu Langgar Di samping mendidik para santri di pesantren yang terletak di depan masjid Jambu, Kiai Munir adalah seorang yang terkenal dengan kealiman, berbudi luhur dan ahli politik, beliau juga termasuk Ulama yang piawai membuat gubahan-gubahan syi'ir dalam bahasa Arab dan bahasa daerah.

Tidak jarang masyarakat menyebut beliau sebagai satu-satunya sastrawan atau pujangga yang ada di Bangkalan pada saat itu. Beliau adalah seorang yang terkenal dengan kealiman, berbudi luhur dan ahli politik, beliau juga termasuk Ulama yang piawai membuat gubahan-gubahan syi'ir dalam bahasa Arab dan bahasa daerah. Sering kali beliau melagukan karya syi'irnya dalam irama-irama yang merdu di berbagai kesempatan. Semua itu beliau lakukan hanya untuk menyebarkan syiar agama dan menyerukan tegaknya panji-panji Islam. Karya-karya gubahannya yang mengajak ke jalan Allah-lah yang menegaskan bahwa, salah satu dakwah beliau terselip dalam keindahan-keindahan sastra. Salah satu gubahan syi'ir terkenal beliau yang sampai saat ini sering dikumandangkan di setiap acara di PonpesNadwatul lshaqiyah, lebih-lebih ketika perayaan Haflah Akhirus Sanah salah satu pesantren tertua di Bangkalan itu adalah syiir berjudul Qodhana (Telah Tiba). Tidak jarang para alumni sepuh meneteskan airmata seakan Kiai Munir hadir di tengah-tengah hadirin yang semuanya berdiri ketika syiir itu terlantun.

Bisa di katakan beliau termasuk salah satu Pujangga di Pulau Seribu Langgar Madura dari kalangan Ulama sepuh. Produktivitas Ulama yang AllamahYang paling mengagungkan dari sosok KiaiMunir adalah, produktivitas beliau dalam menuangkan keilmuan dalam beberapa kitab yang ditulis. Karya-karya itu menunjukkan kalau tangan mulia beliau selalu bergerak seperti aliran sungai, takberhenti menyumbangsih pengetahuan untuk generasi-generasi Islam setelah beliau. Di Madura, hanya beberapa Ulama yang mengabadikan keilmuannya dalam sebuah kitab. Salah satunya adalah Kiai Munir yang karyanya sudah menjadi kurikulum di Madrasah Ibnu Malik Ponpes Nadwatul lshaqiyah, yang sekarang di asuh oleh duacucu beliau. KHR. Lutfi Hasyim dan KHR. Abdul Malik Hasyim. Beberapa karya beliau yang ditemukan adalah: Shofwatul Jinan fi Fadhaili Dzikril MannanIsyraq Sana al Badr fi Mas'alah al QadrTadzakkur al Khairah li Ahl al Khairah Rafiq al Marfuq fi Ahkam al MasbuqNur al Wahhaj fi Qisshah al Isra' wa alMi'rajdan banyak lagi.

Robithotul lshaqiyahPada tahun 1357 H/1941 M. beliau mendirikan jam'iyah keluarga yang diberi nama Robithotul lshaqiyah. Ikatan keluarga itu memakai lshaqiyah, dikarenakan Kiai Munir masih keturunan dari Maulana lshaq ayahanda Sunan Giri. Kiai Munir membentuk Jam'iyah ini semata-mata hanya untuk menghasilkan terbentuknya suatu perkumpulan yang saling bahu membahu menghidupkan ilmu-ilmu agama dan menegakkan perintah syari'at Allah dan RasulNya di tanah Bangkalan. Kewibawaan beliauCucu beliau Kiai Malik Hasyim bercerita, “Saking tawadlu'nya orang-orang Burnehdan sekitarnya. Ketika melewati jalan raya Jambu, masyarakat turun dari kendaraannya mulai dari tengginah (tempat tinggi yang menjadi batas antara desa Jambu dan Langkap). Padahal, tempat itu berjarak kurang lebih setengah kilo meter. Tidak jarang sandal yang mereka kenakan akan dilepas. Ini tak lain karena wibawa dan kecintaan masyarakat kepada Kiai Munir. ” Padahal lanjut beliau, itu adalah jalan desa, masih beberapa puluh meter dari dalem beliau. Para Kiai pun Tersentak Pada masanya, Kiai Munir memang sering melantunkan beberapa syi'ir dan lagu-lagu di atas panggung. Ini membuat beberapa Kiai di bangkalan merasa kurang setuju dengan yang beliau lakukan. Bahkan terkadang ada beberapa pernyataan yang mencolok dengan ketidak senangan dengan Kiai Munir. Para Kiai tersentak ketika pada peringatan wafatnya, Khadrotus Syaikh Muh. Utsman Al lshaqi mengatakan dengan tegas kalau, Syaikh Munir itu termasuk waliyullah. Allah menyamarkan para waliNya diantara hamba-hambaNya. Sebagaimana Dia menyamarkan ridloNya disisi orang yang taat kepadaNya, dan menyamarkan murkaNya di sisi orang yang maksiat kepadaNyaMungkin, patut kita renungkan salah satu perkataan beliau yang mengandung makna yang sangat dalam, maqolah beliau tertuang dalam kitab Tarjamatus Syaikh Munir Abdurahman Malik, beliau berkata :  “Allah menyamarkan para kekasihNya (Wali) diantara hamba-hambaNya. Sebagaimana Dia menyamarkan ridloNya disisi orang yang taat kepadaNya, dan menyamarkan murkaNya di sisi orang yang maksiat kepadaNya”. Karomah Kiai Munir AbdurrahmanMasyarakat Jambu dan sekitarnya dibikin terpukau bukan hanya karena kedalaman ilmu Kiai Munir. Tapi juga kemampuan satu-satunya Kiai di kecamatan Burneh selatan dalam hal-hal yang tak kasat mata, dibuktikan dengan karomah-karomah dan keanehan beliau yang seringterjadi di tengah-tengah masyarakat. Wajar bila kemudian banyak penduduk berkeyakinan bahwa beliau mempunyai maqom (derajat) tinggi. Sering Kiai Minanurrohman Al lshaqi, mertua dari KH. Abdullah Munif Langitan bercerita, suatu ketika Kiai Munir dipanggil sang Ibu. “Cung, aku pingin jajan dari Mekah.” Kata Ibu beliau setelah kiai Munir menghadap. “Enggi.” (iya : Madura) jawab Kiai Munir penuh ta'dzim atas keinginan dari ibunda tercinta. Lantas Kiai Munir hanya berjalan mengelilingi dapur, dengan ijin Allah, di tangan beliau sudah ada Tamis, kurma dan makanan-makanan ringan dari Mekah yang masih hangat. Mangkatnya generasi emas BangkalanTanah Jambu bergetar dengan dzikir, berkelabu dengan isak tangis, berkabut dengan rasa sedih tak terkata ketika Al Karim dipanggil keharibaan Allah Ta'ala, pada hari Selasa ba'da Dhuhur jam Dua kurang seperempat (01:45), tanggal 25 RobiusTsani 1382 H. Yang bertepatan pada tahun 1962 M. Semoga Allah memperbanyak orang seperti beliau. Aminya Robbal Alamin.

0 Komentar