Ngaji kaidah
Bagian 1

Bahasa itu tauqifi atau isthilahi? Fihi khilaf. Diantara furu'nya adalah hukum sholatnya makmum yang mengucapkan  "subhanallah" semata-mata untuk mengingatkan imam (tanpa disertai niat zikir). Jika bahasa adalah isthilahi maka batal sholatnya dan jika bahasa adalah tauqifi maka tidak batal karena lafal "subhanallah" diletakkan untuk menunjukkan makna mensucikan Allah, dan tujuan mengingatkan tidak berpengaruh merubahnya.

Diantara furu'nya lagi adalah pendapat Malik bahwa setiap lafal bisa dipakai untuk menjatuhkan talak. Jika seorang suami berkata kepada istrinya, "isqini maan" atau "isqini qahwatan" dengan niat menjatuhkan talak maka tertalaklah istrinya itu. Ini adalah pendapat yang shohih dalam Mazhab Malikiyah. Pendapat ini tidak jauh dari pendapat yang mengatakan bahwa bahasa adalah isthilahi.

Contoh lagi adalah masalah ucapan suami kepada istrinya, "anti alayya haram", apakah ia termasuk ucapan talak shorih ataukah termasuk ucapan talak kinayah. Jika kita mengatakan bahwa bahasa itu isthilahi maka kepopulerannya dalam urf dan penggunaan umum sebagai ucapan talak membuatnya tidak butuh kepada niat, karenanya ia termasuk shorih. Jika kita mengatakan bahwa bahasa itu tauqifi maka ia termasuk kinayah, karena ia tidak keluar dari asal peletekannya, sedangkan  penggunaannya untuk makna lain tidak lebih dari sekedar penggunaan secara majas. Karenanya, jika ia diucapkan dengan niat talak maka terjadilah talak, dan jika tidak dengan niat tersebut maka tidak terjadi talak.

Ngaji kaidah
Bagian 2

Boleh menggali dari Nash sebuah illat yang dapat mempersempit cakupan Nash tersebut. Diantara furu'nya adalah takhshis terhadap hadis shohih:
من صام اليوم الذي يشك فيه فقد عصا أبا القاسم
Hadis yang melarang berpuasa di hari syakk ini berbentuk umum, namun ia ditakhshis kepada selain orang yang berpuasa pada hari syakk yang bertepatan dengan hari kebiasaannya berpuasa dan juga orang yang hari sebelumnya berpuasa. 

Jika hari syak bertepatan dengan hari kebiasaannya berpuasa atau hari sebelumnya dia berpuasa maka tidak haram berpuasa pada hari syak. Hal ini karena hikmah dilarangnya berpuasa di hari syak itu--yaitu menimbulkan anggapan bahwa ia merupakan bagian dari puasa ramadhan-- telah hilang dengan adanya dua hal tersebut.

Ini jika tidak berpijak kepada pendapat yang mengatakan haram berpuasa setelah pertengahan sya'ban. Jika kita berpijak pada pendapat yang dinilai shohih oleh Imam Nawawi ini maka berpuasa pada hari sebelumnya tidak berpengaruh terhadap hukum berpuasa pada hari syak.

Diantara furu'nya lagi adalah takhshis terhadap ayat:
أولامستم النساء
Lafal النساء dalam ayat ini merupakan kata umum yang mencakup mahram dan bukan mahram. Namun menurut pendapat yang Ashah menyentuh wanita mahram tidak membatalkan wudhu. Hal ini karena illat batalnya wudhu' adalah timbulnya syahwat yang menyebabkan keluarnya madzi tanpa sepengetahuannya. Illat ini tidak ada dalam masalah bersentuhan kulit dengan wanita mahram.


Ngaji kaidah
Bagian 3

Jika dalam dua dalil terdapat sisi umum dan sisi khusus yang tampak bertentangan maka dalam hal ini harus dilakukan tarjih. Karena memenangkan sisi khusus salah satunya tidak lebih utama dari sebaliknya. Sisi khusus menjadikan sebuah dalil memiliki keunggulan, namun  dalam hal ini kedua dalil sama-sama memiliki sisi khusus. Dengan demikian, keduanya sama-sama memiliki keunggulan. Karena itu, dibutuhkan tarjih.


Diantara furu'nya adalah tarjih antara perintah Nabi untuk menggidho' bagi orang yang meninggalkan sholat karena lupa atau ketiduran dengan larangan beliau untuk melakukan sholat di waktu-waktu makruh. Dalam dua hadis ini terdapat sisi umum dan sisi khusus. Hadis yang pertama mencakup semua waktu, tapi khusus untuk sholat qhodho'. Sedangkan hadis yang kedua umum, mencakup semua sholat, tapi khusus untuk waktu tertentu. Madzhab Syafii mengambil dengan hadis yang pertama karena Nabi pernah melakukan sholat qhodho' setelah sholat ashar. Terkait hal ini beliau bersabda," syaghalani 'anhuma wafdhu abdil qais."

Diantara furu'nya lagi adalah tarjih antara sabda Nabi yang menyatakan bahwa paling utamanya sholat seseorang adalah dilaksanakan dirumahnya kecuali sholat maktabah dengan sabda beliau yang mengatakan bahwa sholat di masjid Nabawi menyamai sholat seribu kali di selain masjid Nabawi. Hadis yang kedua menunjukkan keutamaan sholat sunnah di Masjid Nabawi dan Majsjdil Haram dibanding sholat di rumah  sementara hadis pertama menunjukkan keutamaan sholat sunnah di rumah dibanding sholat di Masjid Nabawi dan Masjidil Haram.

Dalam hal ini, diunggulkan hadis yang pertama dengan alasan hikmah pemilihan sholat sunnah di rumah adalah lebih bisa menjauhkan dari riya' yang dapat merusak pahala secara total. Sementara hikmah pemilihan sholat dalam dua masjid di atas adalah kemuliaan dua tempat tersebut, sehingga bisa menambah keutamaan dibanding sholat di tempat yang lain tanpa berpengaruh terhadap legalitas sholat dan perolehan pahala. Menjaga ibadah agar pahalanya tidak hilang secara total tentu lebih baik daripada mengejar keutamaan.

0 Komentar