TRAGEDI PRAYAN
TRAGEDI PRAYAN
Muhammad Nur Hamid
Hidayatullah Shulhan Ad-Dimaky
Mahasiswa Fakultas Tarbiyah
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Mahasiswa Fakultas Tarbiyah
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Bumi gonjang-ganjing, langit
kelap-kelop. Gonjang-ganjing gemuruh suara ayam berkokok di dalam perut.
Kokokannya terdengar seperti amarah lahar gunung Merapi. Grrrrr... grrrrr.... wabah
kelaparan sudah melanda cacing-cacing perut. Mereka rupanya sudah berkumpul
berunjuk rasa minta jatah makan. Namun apa daya, waktu belum meng-iya-kan tuan
mereka keluar kelas. Laki-laki bermata indah dengan tatapan yang dingin dan
lesung pipit di kedua pipi harus menahan rasa laparnya lima menit lagi. Sebelum
lanjut membaca, kalian tahu siapa laki-laki ganteng bermata indah itu??
ehem-ehem (sambil naik-turunkan alis) dia adalah aku, Paijo. Cowok jowo rasa
eropa. Wik wik wik...
Suasana kelas yang sangat tenang
dan khidmat justru membuatku merasa ngantuk. Ada batu besar menggelantung di
leherku. Rasanya aku ingin menjatuhkan kepala di atas meja. Tapi. Tidak mungkin
karena aku duduk di barisan paling depan. Aku tidak mau menanggung malu
ditergur dosen karena tidur. Malu dong, ada cewek, bro. Ditaruh mana mukaku
nanti.
“Ada yang mau bertanya lagi?”
kata bapak Kumaidi, dosen mata kuliah Statistik Pendidikan, kepada mahasiswa.
Mendengar ucapan pak Kumaidi aku
langsung mengangkat kepala. Aku bersemangat lagi. Karena sebentar lagi pulang,
pikirku. Aku masukkan buku ke dalam tas hitam kecilku. Ukuran tasku yang kecil
membuatku sedikit kualahan memasukkan buku.
Aku menoleh ke arah teman-teman.
Mereka juga celingukkan ke kanan dan kiri, menunggu siapa yang akan bertanya.
“Okay, tidak ada yang bertanya”,
batinku. Aku semakin girang karena sebentar lagi kelas akan diakhiri dan aku
bisa langsung pulang ke pondok.
“Pak....” seseorang duduk paling
pojok mengacungkan tangannya. Ah!! Gagal dah pulang cepat. Aku jatuhkan jidatku
ke meja. Nggak pengertian banget dia kalau ada orang kelaparan belum makan dari
pagi. Kalau begini caranya bisa telat aku berangkat ke masjid duluan, grutuku dalam
hati. Dongkol aku rasanya.
Kalian pasti pernah kan mengalami
ketika lagi lapar-laparnya atau mungkin ada sesuatu lain yang harus segera
dilakukan kemudian dosen ingin mengakhiri kelasnya tiba-tiba ada mahasiswa yang
bertanya. Hisss... dan akhirnya aku hanya bisa pasrah dengan cacing-cacing yang
berorasi di dalam perut.
@@@
Aku berjalan cepat menuju lantai
satu. Aku harus segera sampai di pondok. Aku khawatir telat datang ke masjid.
Aku tidak mau jum’atan telat. Kekhawatiranku semakin menjadi ketika aku melirik
jam hitam melingkar di pergelanganku. Waktu menunjukkan pukul 11.45 WIB.
Biasanya jam segini, khuthbah sudah dimulai.
Aku pacu motor Supercup-ku meninggalkan
parkiran layaknya motor Ninja empat tak menuju jalan raya. Meski motorku jadul,
tapi kalau hanya untuk menyalip becak ontel atau sepeda ontel, motorku nggak
akan kalah. Nggak percaya, buktikan sendiri. Suara knalpot yang cempreng seolah
membentakku suapaya aku segera sampai di pondok. “Ayo, Jo! Ndang kuwe ki!
Telat lho, Jo! Numpak motor ae koyo numpak bekicot,[1]” kurang lebih seperti itu
arti suara knalpotku kalau diterjemahkan ke bahasa manusia. Padahal dia sendiri
yang bekicot, malah nyalah-nyalahin aku.
Sesampainya di pondok, aku harus melewati
tahap perjuangan yaitu ngantri mandi. Aku berdiri di urutan paling terakhir.
Aku bingung milih antara mandi atau tidak usah mandi. Kalau aku mandi, otomatis
waktuku akan terkurangi. Aku gerak-gerakkan lututku ke depan-belakang dengan
cepat, mencoba untuk menetralisir rasa cemasku.
“Ya sudahlah, aku nggak mandi
dulu. Mandinya nanti saja sehabis dari jum’atan,” kataku dalam hati setelah
lima menit berdiri mengantri.
Aku memutar-balik tubuhku,
melangkah menuju kamar dan ganti baju Koko putih. Blangkon hitam dengan hiasan
batik sepanjang kain ikatnya semakin memperkuat karakterku sebagai orang jawa
disamping mukaku yang eropa-eropa gimana gitu. Jujur, aku suka banget dengan
pakaian adat jawa. Filosofi dari pakaian adat tersebut sangat luhur sekali.
Misalkan nih, kenapa blangkon ada benjolannya di bagian belakang? karena
seorang manusia seharusnya dia pandai untuk menyimpan aib orang lain supaya
hatinya tidak tersakiti. Kalau meminjam bahasa yang lebihi religius ada hadist
mengatakan “muslim yang baik adalah muslim yang mampu menjaga saudaranya dari
ucapannya”. Ya, kurang lebih begitu. Dan masih banyak lagi filosofinya.
“Den, Karmiden. Ayo!” seruku
kepada temanku yang masih molor di kamar.
Karmiden juga sama busuknya
dengan aku. Dia tidak pernah mandi kalau nantinya akan telat datang ke masjid
Prayan. Ya, dia memiliih tidak mandi bukan karena ingin shalat di baris pertama
tapi supaya dapat barisan shaf paling belakang. Bukan kaleng-kaleng ini lho,
kalau kami tidak shalat di baris akhir, bisa jadi tidak kebagian lauk yang enak
seperti ayam krispi, kambing, atau ikan pindang. Biasanya kalau yang ngantrinya
paling akhir dapatnya paling banter cuma telur atau kalau tidak ya Tempe Tahu.
Aku dan Karmiden berangkat ke
masjid Prayan naik motor Supercup. Jalanan ramai bersusulan motor ngebut menuju
masjid. Aku amati setiap pengendara motor yang nyalip aku pasti arahnya menuju
ke masjid tujuanku. mereka juga punya tujuan yang sama dengan aku rupanya. atau
jangan-jangan mereka juga belum mandi? Hmm... bisa jadi.
“Cak Paijo, aku mau tanya,” ucap
Karmiden dari belakang.
“Hah?” kupingku tidak bisa
menangkap suaranya, keburu dibawa pergi angin.
“Hah?” katanya juga di dekat
telingaku.
“Kamu tadi ngomong apa, Den?”
“Aku mau tanya!” teriaknya.
“O... mau tanya apa?”
“Menurut Cak, bagaimana hukumnya
shalat karena ada jatah makan selepas shalat? Ya, seperti di masjid Prayan
ini.”
Aku diam sejenak memutar jawaban
yang tepat, proposional dan mengena. Saat-saat seperti inilah, naluri
intelektualku muncul. Sehingga secara otomatis gesture tubuhku bergerak
layaknya seorang professor. Saraf-saraf otakku langsung menge-print ulang
semua berkas yang tersimpan di dalam serebrum. ada satu area yang mengatur
kegiatan psikologiku, misalkan proses berpikir, mengingat, analisis, berbicara,
kreativitas dan emosi. Tuh, keren nggak bahasaku?
Karmiden masih menunggu jawaban
dariku.
“Shalat dan jatah makan ini harus
kita nikmati, Den.” Aku mencoba menjelaskan kepadanya. “Kenapa harus dinikmati
keduanya? Karena keduanya berasal dari Allah. Shalat adalah perintah Allah yang
harus kita lakukan. Sedangkan jatah makan adalah rizki dari Allah yang harus
kita cari.
Jangan jadi orang yang
mengingkari nikmat Allah tadi, hanya karena oh aku shalat ikhlas karena
Allah, bukan karena makanan. Hina banget menyampurkan shalat dan makan. Itu
dua hal yang berbeda. Waktunya shalat, ya shalat. Waktunya makan, ya makan.”
Entah pikiran dari mana itu,
tapi, aku sangat setuju dengan pikiranku ini.
“Terus, kenapa kita shalatnya
harus di masjid Prayan? Kan masih ada banyak masjid lain yang menyediakan
makan,” tanyanya lagi kurang puas.
“Rizki Allah itu dimana-mana,
Den. Tinggal kita, mau berikhtiyar mencari rizki Allah yang halal itu dimana,”
jawabku singkat.
Aku melirik sebentar ke arah
belakang. Si Karmiden manggut-manggut mendengarkan penjelasanku yang sangat,
sangat dan sanagat solutif. Aku tersenyum legah karena tidak harus berlagak
seperti orang pintar lagi. Aku kembali fokus mengendalikan stir motorku.
Lagi asiknya melihat motor
menyalip Supercupku, tiba-tiba aku merasa motorku sedikit oleng, tidak mau
tenang setelah melewati polisi tidur. Aku menyipitkan satu mataku untuk melihat
stirku, lurus kok, batinku. Karmiden juga merasakan kalau motorku tidak
stabil lagi. Ada yang tidak beres. Aku minta tolong Karmiden untuk menengok ke
bawah. Mungkin bannya bocor.
Dan benar saja. Bannya bocor
karena tadi tidak ngendorin gas ketika melewati polisi tidur. Kami terpaksa turun
mendorong motor dan mencari bengkel yang buka ketika shalat jumat akan dimulai.
Lama menyusuri jalan mencari bengkel tapi tidak ketemu-ketemu juga. Aku semakin
cemas saat mendengar sang Khotib membaca doa penutup.
Gawat ini! Batinku. Kalau sampai
aku tidak mendapatkan tempat strategis mendapatkan makanan enak, maka siap-siap
aku kelaparan. Uangku tinggal sepuluh ribu. Sementara aku belum bisa bekerja.
Orang tua pun tidak mengirimi. Mereka adalah orang yang kurang mampu. Aku tidak
tega membebani mereka! Kalau hal yang aku khawatirkan harus terjadi, maka
bagaimanapun aku harus sampai sana. Entah makan lauknya apa, aku harus ke sana.
Aku tidak boleh menyerah pada keadaan. Aku harus bisa makan hari ini untuk
menghemat uang makan hari esok. Bila perlu lari satu kilo pun akan aku lakukan.
Kami berdua berjalan di pinggir
jalan sambil mendorong motor, berharap bertemu dengan bengkel motor. Lama
berjalan dibawah terik matahari yang panas, satu meter, dua meter sampai
beberapa meter, akhirnya kami menemukan bengkel motor dekat gereja. Kami
berhenti di sana menunggu motor diperbaiki.
Dengan perasaan cemas, jantung
dag-dig-dug hendak lompat dari dada, aku menunggu motorku diperbaiki bannya.
Aku perhatikan tukang tambal ban sedang sibuk membakar banku yang bocor. “Masih
lama, pak?” tanyaku saking tidak bisa menahan rasa cemas.
“Kurang bentar, mas. Nunggu
sampai apinya mati saja kok,” jawab si tukang bengkel. Dilihat-lihat dari
wajahnya sepertinya dia masih muda.
Aku manggut-manggut. Aku jatuhkan
kepalaku ke belakang, bersandar ke sandaran kursi bambu. Jawaban tukang bengkel
tadi semakin membuat keraguanku naik menjadi stadium akhir. Aku akan gagal
mendapatkan barisan paling akhir, yang paling dekat dengan meja makan. Aku
menoleh ke arah Karmiden yang duduk di sampingku. Dia sedang melihat ke jalan
yang mulai sepi dan semakin panas dibakar teriknya matahari.
Telingaku tidak mendengar lagi
suara sang khotib membaca doa. Aku bangkit dan tanya kepada Karmiden, “Den,
udah selesai khutbah duanya?”
“Sudah selesai, cak. Ini nanti
sebentar lagi azhan paling.” Tidak lama setelah Karmiden ngomong seperti itu,
azhan shalat Jumat berkumandang memekak langit yang cerah kebiruan.
Aku melirik tempat bakar ban
motorku. Kata tukang bengkel tadi tinggal nunggu apinya padam, tapi ini kok tidak
padam-padam. Kalau tetap nunggu mungkin sampai jamaah Jumatan se-Jogja selesai
pun belum tentu apinya mati.
Aku harus mengambil tindakan! Aku
bangkit dari kursi. Aku memberikan isyarat ke Karmiden untuk bangkit juga.
“Pak, motornya saya ambil nanti saja setelah selesai jumatan nggeh,”
kataku ke bapak tukang tambal ban yang masih khidmat nungguin apinya mengecil.
Bukannya mengecil, justru malah semakin besar melambai-lambai diterpa angin.
Seolah mengusir kami.
“O.. iya, mas. Silahkan. Ini
apinya nggak mati-mati,” ucapnya sambil tersenyum.
Aku tersenyum dan langsung
melangkah pergi. Aku menoleh ke arah Karmiden. Ekpresi mukanya menunjukkan
kalau dia bingung. Tanda tanya bak jerawat yang terjarit mati di dalam
pori-pori kulitnya. Aku meng-awe-awe-kan tanganku kepadanya. “Ayo, jalan
kaki,” ajakku.
Karmiden, antara sadar dan tidak
sadar, mengikutiku dari belakang. Aku katakan kepadanya kalau kita harus jalan.
Kalau sampai telat ikut shalat Jumat maka kita akan malu dan tidak enak ikut
ngantri ngambil jatah makan. Lupakan lauk yang enak-enak. Sekarang adalah
bagaimana bisa menyambung hidup dengan cuma-cuma. Karmiden manggut-manggut. Dia
paham maksudku. Dia sangat mengerti betul apa yang aku rasakan saat ini. Karena
nasib dia pun sama seperti nasibku. Nasib kere.
Sesampainya di masjid setelah
berjalan kaki sepanjang setengah kilo, akhirnya kami berhasil mengikuti jamaah
shalat Jumat, meskipun cuma satu rakaat. Dan setelah perjuangan yang panjang
itu, kami bisa menyelamatkan hidup, paling tidak sampai nanti malam. Rizki
nanti malam dipikir nanti. tugasku adalah melakukan apa yang harus aku lakukan
saat ini. Yakin saja lah sama Allah. nanti pasti ada jalan sendiri untuk
mendapatkan rizki Allah.
Aku dan Karmiden duduk di bawah
pohon besar, entah pohon apa. Tangan kami menyangga piring dengan nasi yang
menggunung. Sambal, sayur-sayuran dan satu telur membantu kami menjadi hamba
yang menyukuri nikmat Allah, dan mengamalkan dua ayat terakhir surah
Al-Insyirah, Fa izha faraghta fanshab wa ila rabbika farghab. Maka
apabila kamu selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh
(urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.
Maturnuwun Gusti...
@@@
0 Komentar